TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai mundur langkah pemerintah ingin menghilangkan justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama.
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM menyusun rancangan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak warga Binaan Pemasyarakatan.
Pada revisi PP tersebut, syarat terpidana korupsi, narkoba, terorisme dan mereka harus bekerjasama dengan penegak hukum untuk mendapatkan remisi dihilangkan.
Syaratnya menjadi berkelakuan baik, dan telah menjalani 1/3 masa pidana mereka.
Selain itu, membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai putusan pengadilan.
"Kami merasa ini langkah mundur bagi pemberantasan korupsi. Dirjen Lapas akan sangat bebas memberikan remisi dan selama ini kami sering mendapatkan laporan bahwa untuk dapat remisi, narapidana bisa membayar," kata Wakil Ketua KPK La Ode Muhamad Syarif, Jakarta, Rabu (10/8/2016).
Syarif khawatir jika PP tersebut disahkan maka akan menimbulkan celah korupsi baru.
Menurut dia, jika sistem remisi tersebut masih terus dilanjutkan, justru akan menimbulkan celah korupsi baru.
Syarif mengatakan pemberian remisi kepada terpidana korupsi harus melalui proses yang sangat ketat semisal menjadi justice collaborator.
"Kalau napi koruptor dapat diberi remisi tanpa kontrol atau syarat ketat seperti JC, maka akan dengan mudah para napi koruptor diberikan remisi. Intinya isi revisi PP ini bertentangan dengan pemberantasan korupsi, narkoba, dan terorisme," beber doktor hukum lingkungan itu.
Walau demikian, Syarif mengatakan belum ada permintaan tanggapan dari Pemerintah kepada KPK.