TRIBUNNEWS, DEMAKĀ - "Belasan tahun saya menantikan jadi PNS, tapi semua itu omong kosong saja," kata Syafii (57), Jumat (12/8/2016) lalu.
Syafii merupakan atlet dayung yang telah mengkoleksi puluhan medali. Syafii bersama anak didiknya yang sekaligus pasangan sejolinya yaitu Sunardi, warga Desa Poncoharjo, Kecamatan Bonang, Demak menjuarai berbagai kejuaraan dayung tingkat nasional hingga internasional.
Namanya terkenal di era tahun 1980-an. Tribun Jateng (Tribunnews Network) menemui Syafii di rumahnya di rumahnya di Desa Betahwalang, RT 03 RW 06, Kecamatan Bonang, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Syafii masih terlihat masih tegap serta otot tangannya masih kekar berjibaku melawan air.
Pria yang punya tinggi badan 178 centimeter itu kini berprofesi sebagai nelayan kecil di kampung halamannya. Syafii yang dikaruniai empat anak dan empat cucu ini sudah terbiasa hidup serba kekurangan.
Syafii berharap atlet seperti dirinya ini memperoleh perhatian dari pemerintah. Minimal mendapat pekerjaan yang layak, sebut saja diberdayakan menjadi pelatih dayung.
Syafii telah membuang puluhan medali dan puluhan piagam penghargaan ke tengah laut. Syafii saat itu marah karena predikatnya sebagai atlet dayung tak dihargai.
"Saya belum pernah mendapatkan uang lebih dari pemerintah semenjak jadi atlet hingga sekarang. Saya pernah melapor kemana-mana tapi tak ada tanggapan. Saya kemudian buang puluhan medali dan piagam saya ke laut. " ujar Syafii.
Prestasi
Syafii meraih perunggu pada kejuaraan tingkat internasional tahun 1983 di Hongkong, Asean Games X di Seol Korea Selatan tahun 1986 memperoleh perunggu, Kejuaraan internasional di Rumania tahun 1986 memperoleh perunggu, Kejuaraan internasional di Seoul, Korea Selatan tahun 1987 juara ketiga dan Kejuaraan internasional di Beijing tahun 1988 juara keempat. Keduanya juga pecahkan rekor tercepat pada PON XI dan Seagames 1987. Juara I Seagames 1987 meraih medali emas. PON X raih perak, PON XI raih emas, PON XII raih emas dan PON XIII raih emas.
"Tak mudah untuk menjadi atlet dayung pada jaman dulu. Penuh perjuangan keras dan beresiko. Setiap saya terjun mewakili Jateng di kejuaraan nasional, saya pasti meraih medali emas. Ada 25 medali, sebagian emas. Saya terjun jadi pendayung tahun 1977 dan mengakhirinya pada 1993," kata Syafii.
Namun tahun 2009 saya pernah dikasih uang saya Bapak Andi Malarangeng. Uang Rp 30 juta itu dititipkan melalui perwakilannya. Semoga saja masih ada yang peduli dengan mantan atlet seperti saya. Saya pengen jadi pelatih dayung, tenaga ini tak berubah sejak dulu, " pungkas Syafii.
Syafii telah menggadaikan sertifikat rumahnya untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Rumah sederhana berukuran 6 x 14 meter yang ditempatinya itu sertifikatnya digadaikan Rp 20 juta pada sebulan lalu di sebuah Bank.
"Kalau saya tak kerja bagaimana saya bisa makan. Nelayan kecil seperti saya, jauh dari ekonomi yang lebih. Anak saya saja minta motor nggak bisa saya turuti. Rumah saja sampai saya gadaikan. Saya dulunya atlet dayung, sekarang mendayung lagi. Kalau dulu mendayung rowing, sekarang mendayung perahu," sambung Syafii.
Syafii mengisahkan, bila dirinya merupakan seorang anak nelayan. Laut dan ombak menjadi sahabat yang ditemuinya setiap hari. Awal mula menjadi atlet tatkala Syafii menonton orang-orang berlatih mendayung di Sungai Banjirkanal di Kota Semarang, Jawa Tengah, beberapa tahun silam. Ia kemudian menantang orang-orang tersebut untuk adu kemampuan dan kecepatan mendayung, Syafii pun menang. "Saya kemudian diminta para pelatih di banjir kanal untuk ikut latihan seminggu dua kali. Di situlah cerita saya dimulai hingga menjadi atlet," kata Syafii mengenang perjalanan hidupnya saat menjadi atlet.
Saat itu, Syafii tidak menerima kejelasan soal gaji yang diterimanya.
"Entah di tahun berapa saat itu saya pernah digaji. Gaji saya ambilnya di KONI Jateng sebulan Rp 15 ribu. Tapi belum sampai dua tahun, mendadak nama saya dicoret. Saya mengeluh tetapi semuanya saling lempar dan tak ada penjelasan. Saya itu bodoh, membaca saja tidak bisa,"ungkap Syafii.
Jerih payahnya yang dahulu mengharumkan nama Indonesia itu perlahan terlupakan. Ibarat pejuang yang telah gugur di medan pertempuran, ia tak dapat menikmati apa itu sesungguhnya kemerdekaan.
"Dulu orang meneriaki saya untuk menyemangati, sekarang mereka berteriak untuk memesan ikan. Namun saya sangat bersyukur pernah pergi ke luar negeri dan menjadi juara," kata Syafii.
Nasib Sunardi
Sementara itu, Sunardi pun kini menjadi nelayan, sama seperti nasib Syafii, rekan tandemnya saat menjuarai berbagai lomba dayung. Keseharian Sunardi juga jauh dari perhatian pemerintah. Kondisi perekonomian mereka terhitung tak semulus sepak terjangnya di olahraga dayung.
Kesehariannya, Sunardi berangkat subuh dan pulang pada matahari terbenam. "Hasil tangkapan ikan tak menentu, terkadang hingga jam delapan malam, baru balik rumah,"kata Sunardi saat ditemui Tribun di rumahnya di Desa Poncoharjo, RT 01 RW 05, Kecamatan Bonang, Demak, Jawa Tengah, Sabtu (13/8/2016) pagi.
Tak semarah Syafii yang membuang medali serta piagam penghargaan, Sunardi masih menyimpan rapi sejumlah medali serta piagam yang ia sabet semasa mengikuti kejuaraan dayung tingkat nasional hingga internasional. Beberapa bukti foto saat menyabet medali perunggu pada kejuaraan dayung internasional di Seoul, Korea Selatan pada 1986 juga masih ada meski sudah usang.
"Untuk medali baik emas, perak dan perunggu jumlahnya ada puluhan, kini tinggal belasan saja. Sisanya ada yang saya jual ke tukang rosok. Dulu sempat emosi juga, namun akhirnya saya menyadari, jika penghargaan ini adalah bukti jika saya pernah merajai dunia dayung kala itu," tutur bapak lima anak dan dua cucu ini.
Sunardi terlihat masih enerjik. Badannya tegap dan ototnya kekar. Pemilik tinggi badan 180 cm itu pun akhirnya berlinang air mata mengenang masa keemasannya. Kala itu ia tak menyangka bakal mendapat ajakan dari Pak Syafii untuk terjun ke dunia dayung.
Syafii sudah lebih dahulu melalang buana pada kejuaraan dayung. Syafii menjadi wakil pertama Indonesia pada kejuaraan dayung di India tahun 1982. Ia tak menyia-nyiakan kesempatan itu dan bersedia dilatih oleh Syafii.
Sunardi mengaku tak pernah minder walau hanya mengeyam bangku SD saja. Ia menyakini Tuhan akan memberikannya kelebihan sekalipun minim pendidikan.
"Tahun 1984 saya berkecimpung di olahraga dayung karena ajakan Syafii. Dia adalah pelatih sekaligus duo saya dalam dayung. Kami itu nelayan miskin dan sering bertemu di laut. Kami pun kerja keras berlatih dayung di tengah laut. Pertandingan dayung baik di luar negeri maupun dalam negeri, kami selalu meraih juara. Kalau kelas Indonesia, kejuaraan apapun kami pasti juara pertama. Kami tak takut meski kami tak berpendidikan. Pedayung saat itu rata-rata orang kaya dan berpendidikan," tutur kelahiran 10 Agustus 1959 ini.
Saat mengikuti kejuaraan internasional, mereka berbulan-bulan berada di negara orang. Sunardi masih ingat betul bagaimana dia menikmati enaknya tidur di hotel berbintang dengan fasilitas mewah hingga bisa naik pesawat terbang.
"Kami itu wong ndesa (orang kampung), wong cilik lan wong rak berpendidikan. Tapi kami sudah bisa tidur di hotel mewah. Panggone joss tenan (tempatnya bagus betul, RED). Ana AC lan isa nonton pemandangan kota saka njero (ada AC dan dari kamar bisa menyaksikan pemandangan). Apalagi kami juga sudah merasakan naik pesawat. Kalau di luar negeri kami hanya berlatih dan beristirahat, jadi kami nggak bisa jalan-jalan," ungkapnya.
Sunardi berharap dia mendapatkan perhatian dari pemerintah.
"Nasib saya sama dengan Pak Syafii, uwis dilalekno (sudah dilupakan, RED). Harapannya sih kami diberi pensiunan atau pekerjaan yang layak. Pernah dijanjikan jadi PNS, tapi bohong. Apakah karena kami cuma berijazah SD. Masak kami harus berjuang lagi setelah merdeka. Doa kami, pemerintah memberikan pekerjaan layak," kata Sunardi.
Tahun 2009, Sunardi pernah mendapatkan bantuan uang Rp 75 juta dari Andi Mallarangeng yang saat itu menjabat sebagai Menpora RI.
"Saya masih bersyukur ada yang memperhatikan. Tapi sepatutnya kami diberi pekerjaan saja," ujar Sunardi.
Sunardi menjelaskan beberapa kemenangan yang diraihnya pada lomba dayung bersama Syafii. Di antaranya Kejuaraan tingkat internasional tahun 1983 di Hongkong memperoleh perunggu, Asean Games X di Seol, Korea Selatan tahun 1986 memperoleh perunggu, Kejuaraan internasional di Rumania tahun 1986 memperoleh perunggu, Kejuaraan internasional di Seoul, Korea Selatan tahun 1987 juara ketiga dan Kejuaraan internasional di Beijing tahun 1988 juara keempat.
Keduanya juga pecahkan rekor tercepat pada PON XI dan Seagames 1987. Juara I Seagames 1987 meraih medali emas. PON X raih perak, PON XI raih emas, PON XII raih emas dan PON XIII raih emas. (Tribunjateng/Put).