TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana harga rokok akan naik rata-rata Rp 50 ribu per bungkus mengundang pro dan kontra, terutama dari para perokok.
"Saya akan berhenti merokok karena itu tidak sesuai dengan penghasilan saya. Bunuh diri jika penghasilan sekarang rokok Rp 50 ribu per bungkus. Saya bisa jatuh miskin," kata Husein, seorang perokok, ketika diminta tanggapannya oleh Tribunnews.com, Jumat (19/8/2016).
Oleh karena itu karyawan perusahaan penerbitan ini mengaku setuju dengan kebijakan itu. "Biar saya berhenti merokok," kata dia.
Jika sehari seorang perokok menghabiskan sebungkus rokok seharga Rp 50 ribu maka dalam sebulan setidaknya butuh Rp 1.500.000 hanya untuk membeli rokok.
Lain halnya komentar Melvi. Dia tidak setuju dengan kenaikan harga rokok hingga Rp 50 ribu per batang.
"Krisis kayak gini harga rokok mau naik. Boleh naik tapi jangan mahal begitu," kata dia.
Mengenai rencana kenaikan harga rokok sebelumnya diutarakan pemerintah.
Pemerintah mengaku mendengarkan usulan kenaikan harga rokok menjadi Rp 50.000 per bungkus.
Oleh karena itu, pemerintah akan mengkaji penyesuaian tarif cukai rokok sebagai salah satu instrumen harga rokok.
"Cukai rokok belum kami diskusikan lagi, tapi kami kan biasanya setiap tahun ada penyesuaian tarif cukainya," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (17/8/2016) dilansir Kompas.com.
Selama ini, harga rokok di bawah Rp 20.000 dinilai menjadi penyebab tingginya jumlah perokok di Indonesia. Hal tersebut membuat orang yang kurang mampu hingga anak-anak sekolah mudah membeli rokok.
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany dan rekan-rekannya, ada keterkaitan antara harga rokok dan jumlah perokok.
Dari studi itu terungkap bahwa sejumlah perokok akan berhenti merokok jika harganya dinaikkan dua kali lipat. Dari 1.000 orang yang disurvei, sebanyak 72 persen bilang akan berhenti merokok kalau harga rokok di atas Rp 50.000.
Pemerintah sendiri mengatakan bahwa cukai rokok selalu ditinjau ulang setiap tahun. Sejumlah indikator menjadi pertimbangan, yakni kondisi ekonomi, permintaan rokok, dan perkembangan industri rokok.
Ketua DPR Ade Komarudin setuju dengan wacana kenaikan harga rokok yang rencananya akan naik hingga Rp 50.000 per bungkus.
Menurut Ade, wacana tersebut sekaligus dapat mengurangi kebiasaan masyarakat agar tidak lagi merokok. Rokok, kata Ade, merupakan musuh bangsa yang sudah disadari semua orang.
"Saya setuju dengan kenaikan harga rokok," kata Ade di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (19/8/2016).
"Tentu kalau bisa makin hari dikurangi," ujarnya.
Di samping itu, lanjut Ade, pendapatan negara juga otomatis akan bertambah jika harga rokok dinaikkan. Kenaikan harga rokok juga akan membantu anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pada masa mendatang.
Pemerintah mengaku mendengarkan usulan kenaikan harga rokok menjadi Rp 50.000 per bungkus.
Oleh karena itu, pemerintah akan kaji penyesuaian tarif cukai rokok sebagai salah satu instrumen harga rokok.
"Cukai rokok belum kami diskusikan lagi, tetapi kami kan biasanya setiap tahun ada penyesuaian tarif cukainya," ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (17/8/2016).
Selama ini, harga rokok di bawah Rp 20.000 dinilai menjadi penyebab tingginya jumlah perokok di Indonesia.
Hal tersebut membuat orang yang kurang mampu hingga anak-anak sekolah mudah membeli rokok.