TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Maulwi Saelan, mantan pengawal Presiden Pertama RI Soekarno dikebumikan pada Selasa (11/10/2016) ini di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Sebelum dimakamkan, jenazah Maulwi akan dishalatkan di Al-Azhar Syifa Budi Kemang, sekolah yang didirikannya.
Siapa sebenarnya Maulwi Saelan?
Untuk mengenal sosoknya, akan terjawab dalam potongan kisah seperti dikutip dari Buku "Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno", oleh sejarawan Asvi Warman Adam, Bonnie Triyatna, Hendri F. Isnaeni, dan MF Mukhthi.
Buku ini diterbitkan penerbit Kompas-Gramedia dengan tebal 388 halaman.
"18 Maret 1966, sekitar air mancur di mulut Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta. Presiden bertanya..., ”Katanya tadi sudah beres, kok begini?” Tidak ada jawaban. Beberapa pasukan RPKAD berada di pinggir jalan.... Pengawalan terdiri dari empat jip terbuka, dua di depan dan dua di belakang mobil Presiden (Soekarno). Para pengawal meloncat dari jip dan memposisikan diri di sekeliling mobil Presiden. Pasukan RPKAD mengokang senjata. Maulwi Saelan loncat dari mobil dan bergerak ke arah pasukan RPKAD sambil berteriak, ”Jangan tembak, jangan tembak, jangan tembak...”
Pengamanan Presiden sudah jadi persoalan sejak Indonesia merdeka, 17 Agustus 1945.
Awalnya pengamanan dirasa cukup dilakukan beberapa polisi yang tergabung dalam Pasukan Pengawal Pribadi Presiden.
Namun, setelah terjadi rangkaian percobaan pembunuhan Presiden Soekarno, dimulai dengan insiden penggranatan di Cikini, 1957, dibentuklah Tjakrabirawa pada 1962.
Maulwi Saelan, lahir di Sulawesi Selatan, 8 Agustus 1926. Ia adalah seorang pejuang dan pengaman presiden Soekarno.
Letkol Kolonel Maulwi Saelan, yang ketika itu bertugas di Makassar, ditunjuk sebagai kepala staf, dan selanjutnya menjadi Wakil Komandan Tjakrabirawa.
Posisi inilah yang membuat Maulwi Saelan berada di samping atau di dekat Bung Karno di saat-saat paling kritis dalam masa peralihan kekuasaan, 1965-1966.
Ia pun berada di istana pada tanggal 4 Agustus 1965, ketika Bung Karno diserang stroke ringan, meski kemudian dapat pulih kembali.
Semangat perjuangan Maulwi Saelan sedari remaja untuk membela Tanah Air, sebagai penjaga Republik, juga penjaga Presiden agar terluput dari fitnah sejarah yang dilontarkan rezim penguasa Orde Baru.
Data ini diungkapakan dalam peluncuran dan bedah buku Maulwi Saelan Penjaga Terakhir Soekarno di Auditorium Museum Nasional, Jakarta, Rabu, (1/10/2014) lalu.
“Dalam konteks sejarah saya merasa terpanggil memberikan kesaksian, dalam rangkaian-rangkain yang terjadi masa lampau, yang menjadi sejarah bangsa,” kata Maulwi Saelan, saat memberikan sambutan dalam acara peluncuran dan bedah buku tersebut.
Menurut dia, saat inilah waktu yang tepat untuk meluruskan sejarah. Sebab banyak skenario yang terbentuk tentang Bung Karno.
Sementara itu menurut, Bonnie Triyana, Mulwi Saelan adalah seorang gerilyawan.
Dia dikabarkan pernah "tewas" pada saat perang urat saraf pada era Belanda.
“Karena pada saat itu Belanda tidak bisa membendakan antar warga dan pasukan gerilya,” kata Bonnie.
Maulwi Saelan juga pernah jadi kapten timnas Indonesia, dipenjara Orde Baru tanpa proses pengadilan.
Maulwi ditahan di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat selama 4 tahun 8 bulan.
Kemudian ditahan di Rumah Tahanan Nirbaya, Jakarta Timur selama setahun.
Untuk membuat Maulwi tertekan, Kopkamtib sengaja Maulwi menempatkan Maulwi di sel isolasi.
“Kalau hujan kehujanan, kalau panas kepanasan. Selama seminggu saya dibuat menderita. Kelaparan dan kehausan. Untung ada penjaga bekas anak buah yang berbaik hati memberikan saya pisang goreng,” kenang Maulwi.
Setelah lima tahun lebih dipenjara, Maulwi dipanggil ke kantor petugas militer. Dinyatakan bebas.
Setelah itu Maulwi Saelan mengisi hari-harinya dalam bidang pendidikan dengan menjadi ketua Yayasan Syifa Budi, Kemang, Jakarta Selatan (sekolahnya lebih dikenal dengan Al-Azhar Kemang). (Dari Berbagai Sumber)