TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Santri menjadi aset potensial bangsa Indonesia dalam membendung propaganda radikalisme dan terorisme di dunia maya (cyber).
Pasalnya, santri yang telah mendapat gemblengan ilmu agama akan mampu mementahkan upaya kelompok radikal terorisme yang selalu memelintir makna ayat-ayat suci Al Quran dan Hadits.
"Saya kira sudah saatnya para santri aktif mempertahankan nilai-nilai agama dan kebangsaan dengan deradikalisasi di media massa atau sosial media. Santri itu punya keunggulan substansi dalam bidang ilmu agama. Ini tentu akan makin efektif membantu pemerintah dalam memerangi propaganda radikal terorisme di dunia cyber," ungkap Peneliti dari Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial/LP3ES, Adnan Anwar di Jakarta, Jumat (14/10/2016).
Adnan menambahkan, santri dalam mempelajari agama di pesantren minimal selama 10-13 tahun sehingga memiliki pendalaman ilmu agama yang luas. Di pesantren, santri juga diajarkan ilmu fiqih tentang kenegaraan, sosial, dan lain-lain.
Dengan modal itu, bila dilibatkan dalam proses deradikalisasi, santri akan lebih kuat dalam memberikan argumen dan pemahamannya, dibandingkan dengan orang biasa. Selain itu, santri mempunyai pemikiran luas ketika memberikan paparan tentang NKRI.
"Peran ini yang harus dimainkan di sosial media atau dunia maya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat. Utamanya dalam memerangi perang cyber melawan kelompok radikal terorisme," imbuh mantan Wakil Sekjen PBNU itu.
Adnan menyadari, propaganda yang dimainkan kelompok radikal terorisme melalui dunia maya sangat gencar. Karena itu, santri juga harus aktif berdakwah, baik berupa video maupun tulisan di media sosial.
Langkah itu harus dilakukan karena selama ini banyak orang yang belajar agama melalui internet cenderung membaca instan. Kondisi ini harus dilawan para santri dengan memberikan pemahaman dan argumen yang luas, tetapi tetap populer sehingga mudah dibaca pengguna internet yang masih awam, baik di desa maupun di kota.
Dengan fakta diatas, Adnan menyarankan harus dibuat situs-situs kontra radikalisasi. Untuk itu, ia meminta pemerintah harus memfasilitasi kekuatan yang dimiliki santri. Selain itu, pemerintah harus menggandeng pesantren terkait cyber santri dalam melawan radikalisasi.
"Selama ini saya lihat peran santri untuk melawan itu melalui dunia maya masih kurang. Saya kira BNPT dan Kemenkominfo perlu menggandeng pesantren seperti mengadakan pendidikan-pendidikan IT yang bertujuan untuk menyusun pasukan cyber pesantren itu," ulas Adnan.
Ia menilai program BNPT menggandengan pesantren dalam mendidik para santri di dunia internet terus berlanjut. Langkah itu akan memberikan dampak luar biasa dan makin memasifkan pencegahan terorisme melalui dunia maya, melengkapi upaya pencegahan lainnya.
Sementara itu, Guru Besar Sosiologi Agama UIN Syarif Hidayatullah, Prof. Dr. Bambang Pranowo, MA, mendukung penuh keterlibatan santri yang lebih besar dalam pencegahan radikal terorisme melalui dunia cyber. Namun ia menyarankan agar hal itu dilakukan secara selektif.
"Harus ada yang mengontrol, dalam hal ini pesantren. Karena dunia cyber itu sangat luas, kalau tidak dikontrol dikhawatirkan akan melenceng dari tujuan. Intinya pesantren harus proaktif menyikapi cyber santri, jangan sampai tidak terseleksi karena bisa menjadi bumerang," papar Prof. Bambang.
Pesantren juga harus terbuka menyikapi cyber santri ini, terutama untuk meluruskan hal-hal tidak benar yang diunggah kelompok radikal.
Salah satu cara untuk menciptakan cyber santri, lanjut Prof. Bambang, dengan memasukkan kurikulum dalam pendidikan pesantren. Itu akan lebih efektif dibandingkan hanya sebagai ekstra kurikuler.