Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago menilai aksi 412 dibungkus pakai nama ‘Parade Kebhinekaan’ dengan tema ‘Kita Indonesia’ namun pelaksanaannya jauh dari fatsun politik, keluar dari trayek Bhineka Tunggal Ika, hanya menyisakan polemik dan komplikasi baru.
Menurut Pangi, aksi 412 mempertontonkan dagelan politik dan aksi ugal-ugalan, ketidakteraturan (dis-order), pelanggaran etika dan hukum. Anehnya, penegak hukum nampak abai, cuek dan membiarkan pelanggaran-pelanggaran itu terjadi.
"Pertama, bagaimana kemudian menjelaskan bahwa ini adalah parade kebhinekaan, namun pada saat yang sama banyak bendera dan atribut parpol lainnya pada aksi 412. Patut diduga, parade kebhinekaan sangat kental aroma politisnya, dijadikan sebagai komoditas dan panggung politik oleh sang penunggang dan aktor politik," kata Pangi melalui pesannya, Rabu (7/12/2016).
Untuk kita ketahui, Car Free Day (CFD) tak boleh ada aktifitas politik. Larangan mengenai kegiatan politik di CFD tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 12 Tahun 2016, tentang Pelaksanaan Hari Bebas Kendaraan Bermotor (KBKB). Pergub tersebut merupakan penyempurnaan dari Peraturan Gubernur Nomor 119 Tahun 2012, mengenai Hari Bebas Kendaraan Bermotor. Oleh karena itu, Pemprov DKI dan penegak hukum harus memberi sanksi tegas dan keras kepada parpol yang terlibat dalam parade kebhinekaan tersebut.
Kedua, kata Pangi, aksi 412 tak tertib, merusak keindahan kota, taman rusak, banyak yang menginjak rumput, ribuan ton sampah. Puncak aksi 412, dua elite golkar adu jotos, insiden pemukulan yang terjadi antara Ketua DPD Golkar DKI Jakarta, Fayakhun Andriadi dan Ketua Umum Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) Fadh El Fouz Arafiq, habis berkelahi, dua politisi golkar tersebut saling lapor polisi. Kering makna dan karakter, anti tesis dari Bhineka Tunggal itu sendiri.
"Ketiga, sangat disayangkan dan miris, PNS yang semestinya netral. Harus ditelusuri aktor atau dalang dibelakang penggarahan massa PNS dalam aksi 412, memobilisasi melalui mesin birokrasi, ada beberapa intitusi pemeritah seperti kementerian perdagangan, dan kementerian sosial. Berdasarkan surat edaran tersebut, mewajibkan eselon II hadir di acara aksi 412, harus diusut tuntas dan diberi sanksi tegas, sehingga tak terulang kembali PNS yang masuk ke wilayah politik," tutur Pangi.
Masih kata Pangi, keempat, ada perbedaan perlakuan yang sangat mencolok oleh polri dan pemerintah. Aksi 212 banyak dipersulit, patut diduga digembosi polri (sebelumnya ada larangan kepada perusahaan angkutan, kemudian dicabut, hadangan di jalan, dan lain-lain). Aksi 212 hanya dibolehkan di satu titik yaitu Monas, namun akhirnya meluber ke sana-sini.
"Belum lagi pengamanan ekstra ketat, konon biaya pengamanan aksi Bela Islam II dan Bela Islam III menghabiskan dana Rp 76 miliar. Ketakutan yang terlalu berlebihan dari Polri karena adanya isu makar dan kudeta," ujar Pangi.
Sedangkan Aksi 412, lanjut Pangi telah difasilitasi. Dirinya pun mempertanyakan menggapa aksi 412 dibolehkan di CFD, sepanjang jalan Sudirman hingga jalan M.H Thamrin? Menggapa Pemprov dan penegak hukum diam?
"Nyata dan terang benderang melanggar pergub, tak membolehkan ada aktifitas politik dalam acara CFD, jelas menganggu orang yang sedang berolah raga, menganggu jalur busway dan seterusnya," tegasnya.
Lebih lanjut Pangi mmengatakan, ditemukan ada delapan bus Transjakarta keluar jalur/harusnya tetap dalam karidor, mengangkut peserta Parade Kebinekaan di area Hari Bebas Kendaraan Bermotor (Car Free Day/CFD).
"Apa motif operator Transjakarta mengizinkan bus-bus tersebut ikut terjun dalam acara Parade Kebudayaan bertajuk Kita Indonesia tersebut? Ini juga harus ditelusuri dan diselidiki secara tuntas oleh Pemprov DKI Jakarta. Semoga keadilan tidak menjadi yatim piatu," tandas Pangi.