Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Panitia Khusus RUU Penyelenggara Pemilu melakukan konsultasi dengan Mahkamah Agung (MA).
Pansus menyampaikan sejumlah catatan penting usai berkonsultasi dengan MA pada Rabu (14/12/2016).
Ketua Pansus RUU Pemilu Lukman Edy menyebutkan MA berkewenangan untuk memutus pembatalan pencalonan presiden akibat politik uang yang terstruktur, sistimatis dan massif (TSM).
"Oleh sebab ketentuan ini berinplikasi luas menyangkut presiden dan wakil presiden, maka MA perlu mempelajari lebih mendalam tentang ketentuan TSM di dalam RUU tersebut," kata Lukman melalui pesan singkat, Kamis (15/12/2016).
Menurut Lukman, tidak memadai diterapkan didalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kalau hanya berdasarkan pada norma seperti yang diatur di dalam UU Pilkada. Oleh sebab itu, kata Lukman, perlu masukan dari MA yang lebih lengkap dan konprehensif, berkenaan kewenangan baru Mahkamah Agung ini.
Lukman menuturkan adanya usulan MA berkenaan dengan penyelesaian konflik partai cukup di Mahkamah Partai, tidak perlu melibatkan Pengadilan. Hal itu patut untuk dipertimbangkan, karena pada dasarnya untuk melepaskan semua masalah politik dari tugas MA.
"MA sudah cukup sibuk dengan tugas kesehariannya yang lain, bahkan kalau ingin lebih maju lagi, seharusnya UU Penyelenggaraan pemilu ini bisa mendisain peradilan khusus pemilu, terlepas dari kekuasaan peradilannya Mahkamah Agung," kata Politikus PKB itu.
Menurut Lukman, internal Mahkamah Agung lebih setuju dengan konsep ini, mengingat infrastruktur dan sumber daya manusia di Mahkamah Agung yang terbatas. Apalagi menghadapi kompleksitas pemilu serentak yang lebih rumit dari pada pemilu sebelumnya yang tidak serentak.
Lukman mengungkapkan Mahkamah Agung kekurangan hakim-hakim baru, karena sudah 6 tahun tidak melakukan rekruitmen hakim, akibat adanya kebijakan moratorium rekruitmen. Padahal untuk bisa menangani potensi perkara perselisihan proses dan pidana pemilu, pada pemilu serentak tahun 2019, setidaknya Mahkamah Agung memerlukan tambahan 1.500 hakim baru serta tambahan kantor kantor Pengadilan Tinggi TUN.
"Saat ini MA hanya memiliki 4 Pengadilan Tinggi TUN seluruh Indonesia, sementara didalam drat RUU dinyatakan sengketa proses pemilu paling tinggi dilakukan di Pengadilan Tinggi TUN sebagai pemutus akhir yang mengikat. Pengalaman pemilu 2014 yang lalu, Mahkamah Agung, merasakan bagaimana tingginya intensitas dan beratnya beban tugas menyelesaikan lebih dari 400 kasus pemilu dalam waktu yang terbatas," ungkap Lukman.
Lukman menjelaskan konsultasi Pansus RUU Penyelenggara Pemilu dengan MA mengenai kewenangan MA untuk memutus pembatalan pencalonan presiden akibat politik uang. MA, kata Lukman, juga lebih setuju peradilan khusus pemilu dibanding di MA, terutama soal konflik partai sebaiknya selesai di Mahkamah partai
"Soal kebutuhan hakim-hakim baru, mencabut moratorium rekruitmen perlu 1.800 hakim dan tambahan dua kantor pengadilan Tinggi TUN," kata Lukman.
Kemudian, terkait tambahan kewenanga bagi MA untuk melakukan corrective justice bagi peradilan pemilu melalui dua tingkat peradilan. Lalu, dukungan anggaran khusus untuk hakim-hakim pemilu karena pekerjaan yang berat dengan intensitas yang tinggi termasuk sertifikasinya.
Lukman juga menerima masukan mengenai tenggat waktu di peradilan pidana pemilu, (7 hari) supaya disesuaikan seperti di peradilan proses (TUN)(14 hari dan 21 hari). Oleh karenanya, RUU diharapkan memberi kewenangan kepada MA untuk membuat payung yang jelas tentang proses peradilan, (peraturan MA) jika ada yang belum diatur didalam UU.
MA, kata Lukman, merekomendasikan peradilan proses pemilu di TUN, pertama di PT TUN terakhir di MA, peradilan pidana pemilu, pertama di peradilan I, terakhir di PT (banding). "MA lebih setuju soal pidana diatur sesuai ketentuan acara pidana, termasuk soal korporasi di dalam UU Pemilu ini, MA sedang menyiapkan ketentuannya tentang kejahatan korporasi ini," kata Lukman.