Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pepatah di balik kesuksesan pria ada wanita hebat, bisa jadi membuat sederet kasus korupsi yang terjadi belakangan menyeret seorang istri dalam perkara korupsi suaminya.
Dari catatan Tribunnews.com, ada beberapa pasang suami-istri yang terjerumus di pusaran korupsi.
Termutakhir Wali Kota Cimahi Atty Suharti Tochija dan suaminya Mohammad Itoch Tochija ditetapkan menjadi tersangka penerima suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (2/12/2016) malam.
Penetapan ini dilakukan setelah Atty dan Itoch diperiksa intensif usai ditangkap Tim Satgas KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Kamis (1/12/2016) malam.
Wali Kota Cimahi non aktif Atty Suharti usai menjalani pemeriksaan perdana pasca operasi tangkap tangan (OTT) di gedung KPK, Kamis (8/12/2016). Atty Suharti diperiksa sebagai saksi untuk tersangka suaminya sendiri, Mochamad Itoc Tochija terkait kasus dugaan suap pembangunan Pasar Atas Baru Cimahi. TRIBUNNEWS/HERUDIN
Wakil Ketua KPK, Basaria Panjaitan mengatakan, pihaknya juga menetapkan dua orang swasta sebagai pemberi suap, bernama Triswara Dhani Brata dan Hendriza Soleh Gunadi yang ikut ditangkap setelah keluar dari rumah, dalam OTT kemarin.
"Setelah 1x24 jam dan melakukan ekspose atau gelar perkara diputuskan meningkatkan status perkara ke tingkat penyidikan dengan menetapkan AST (Atty Suharti Tochija) dan MIT (Mohammad Itoch Tochija) sebagai tersangka penerima suap serta TDB (Triswara Dhani Brata) dan HSG (Hendriza Soleh Gunadi) sebagai tersangka pemberi suap," kata Basaria saat memberikan keterangan kepada wartawan di Gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jakarta, Jumat (2/12/2016) malam.
Basaria menjelaskan, Atty dan Itoch diduga menerima suap dari Triswara Dhani dan Hendriza Soleh sebesar Rp 500 juta.
Suap ini berkaitan dengan ijon proyek pembangunan tahap II Pasar Atas Cimahi tahun 2017 yang menelan anggaran Rp 57 miliar.
"Pemberian (suap) ini ijon proyek Pasar Atas Cimahi. Di dalam pembangunan tahap kedua tahun 2017 yang nilainya Rp 57 miliar," kata Basaria.
Atas tindak pidana yang dilakukan Atty dan Itoch dijerat dengan Pasal 12 huruf a dan atau Pasal 11 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara, Triswara Dhani Brata dan Hendriza Soleh Gunadi yang menjadi tersangka pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 Ayat (1) dan atau Pasal 13 Jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
Nama Xaveriandy Sutanto Direktur Utama CV Semesta Berjaya mencuat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar kasus dugaan suap gula tanpa Standar Nasional Indonesia (SNI) di Pengadilan Negeri Padang yang melibatkan jaksa Farizal.
Xaveriandy Sutanto dan Farizal ditetapkan tersangka oleh KPK setelah terbukti memberikan dan menerima suap senilai Rp365 juta kepada Farizal.
Dalam penyelidikan lebih lanjut, KPK menemukan keterlibatan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Isman Gusman dalam kasus tersebut.
Irman diduga menerima gratifikasi senilai Rp 100 juta atas jasanya mengurus kuota gula impor untuk wilayah Sumatera Barat pada 2016.
Pada malam operasi tangkap tangan KPK pada Sabtu (17/9/2016) dini hari diketahui, Xaveriandy Sutanto memberikan uang Rp 100 juta di rumah Irman.
CV Semesta Berjaya milik Xaveriandy Sutanto merupakan salah satu distributor gula pasir di wilayah Padang Sumatera Barat.
CV ini diketahui kerap ikut lelang tender pembelian gula impor. CV ini juga diketahui pernah menggelar pasar murah gula pasir dengan instansi militer di Sumatera Barat.
Pengusaha asal Sumatera Barat ini tidak terjerat sendiri dalam kasus suap untuk Irman. Istrinya, Memi, dituntut Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pidana penjara selama tiga tahun dan denda Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan.
Jaksa menilai, ada kerja sama yang sedemikian rupa antara Xaveriandy dan Memi untuk terjadinya suap kepada Irman Gusman.
Xaveriandy dan Memi dinilai melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Gatot dan Evy
Kasus Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istri keduanya Evy Susanti. Mereka ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak 28 Juli 2015. Keduanya pun telah mendekam di balik jeruji besi.
Gubernur Sumatera Utara nonaktif Gatot Pujo Nugroho (kanan) bersama istri Evy Susanti menjalani sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (17/2/2016). JPU menuntut Gatot Pujo Nugroho dengan hukuman 4,5 tahun penjara, sedangkan istrinya Evy Susanti dituntut hukuman empat tahun penjara atas dugaan suap tiga hakim PTUN Medan dan suap mantan Sekjen Partai Nasdem Rio Capella. TRIBUNNEWS/HERUDIN
Kasus suap terhadap tiga hakim dan seorang panitera PTUN Medan ini terungkap setelah KPK melakukan tangkap tangan pada 9 Juli 2015.
Saat itu, petugas KPK berhasil mengamankan lima tersangka termasuk anak buah OC Kaligis yang bernama M Yagari Bhastara alias Gerry serta barang bukti uang dalam bentuk dolar Amerika Serikat dan Singapura.
Uang tersebut diduga terkait memuluskan gugatan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara di PTUN Medan.
Gugatan ke PTUN dilayangkan oleh Kepala Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara Ahmad Fuad Lubis yang merupakan anak buah Gatot.
Pada gugatannya tersebut, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara kemudian menyewa jasa firma hukum OC Kaligis.
Kasus keduanya kini sudah masuk pengadilan. Gatot dan Evy didakwa jaksa melakukan suap kepada tiga hakim dan panitera PTUN Medan dan juga menyuap bekas Sekjen Partai NasDem Rio Capella.
Romy Herton dan Masyitoh
Selanjutnya, terpidana kasus suap sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Mahkamah Konstitusi (MK) Wali Kota Nonaktif Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyitoh.
Wali Kota non aktif Palembang Romi Herton bersama istrinya Masyito usai menjalani sidang dengan agenda putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin (9/3/2015). Pada sidang itu, majelis hakim memvonis Romi Herton 6 tahun penjara ditambah denda sebesar Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan sedangkan istrinya, Masyito, divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider dan 2 bulan kurungan dalam kasus suap sengketa pilkada Kota Palembang yang juga melibatkan mantan Ketua MK Akil Mochtar. (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)
Keduanya, kini mendekami di bui setelah majelis hakim PT DKI Jakarta melalui putusan banding memperberat hukuman Romi menjadi tujuh tahun penjara dan Masyitoh selama lima tahun bui. Putusan dibacakan pada Kamis (18/6/2015).
Selain itu, keduanya juga dihukum tak dapat memilih dan dipilih dalam pemilihan umum selama lima tahun.
Sebelumnya dalam putusan pengadilan tingkat pertama, Romi divonis enam tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Sementara itu, istrinya, Masyitoh, dihukum empat tahun bui. Mereka juga didenda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan.
Dalam pertimbangan hakim, keduanya terbukti menyuap mantan Ketua MK Akil Mochtar senilai Rp 11,3 miliar dan 316 ribu dolar AS melalui perantaranya, Muhtar Efendy.
Keduanya berhasil terpengaruh Muhtar yang menawarkan jasanya untuk mengurus sengketa pilkada di MK. Muhtar mengaku kepada mereka bahwa dirinya mengenal dekat Akil Mochtar dengan menunjukkan foto-foto bersama.
Sebelumnya, Romi gagal menyabet jabatan Wali Kota Palembang saat Pilkada 2013 silam. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Palembang menetapkan dirinya kalah delapan suara dari rivalnya, Sarimuda dan Nelly.
Merasa dicurangi, ia mengajukan gugatan. Pasangan suami istri tersebut terpengaruh bujukan Muhtar untuk menyuap Akil.
Pada 20 Mei 2013, Akil melalui putusan MK menetapkan Romi memenangkan pemilu dengan perolehan suara sebanyak 316.919 suara. Setelah putusan, Romi dan Masyitoh menyerahkan duit sebanyak Rp 2,75 miliar.
Atas tindak pidana tersebut, duo suami dan istri tersebut didakwa melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Budi Antoni dan Suzanna
Ketiga, masih dengan kasus memberikan suap kepada mantan Ketua MK Akil Mochtar, untuk memenangkan gugatan pilkada di Kabupaten Empat Lawang pada 2013, Budi Antoni Al Jufri dan istrinya Suzanna Budi Antoni diciduk KPK.
SUAMI DAN ISTRI DIPERIKSA JADI TERSANGKA -Tersangka kasus suap di Mahkamah Konstitusi Budi Antoni Aljufri dan istrinya Suzanna selesai diperiksa dan menuju ke mobil tahanan di Gedung KPK , Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (22/7). Bupati Empat Lawang dan istrinya itu diperiksa sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemberian suap kepada mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait sengketa Pilkada. Warta Kota/henry lopulalan
Pasangan suami-istri ini memberikan suap untuk mengagalkan kemenangan pesaingnya pasangan Joncik Muhammad-Ali Halimi, diduga Rp 10 miliar.
Uang itu bahkan diantarkan langsung oleh istrinya, Suzanna melalui orang dekat Akil, Muhtar Effendy.
Atas perbuatan mereka diduga melanggar Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah ke dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Nazaruddin dan Neneng
Selanjutnya, sederet kasus korupsi menjerat mantan Bendahara Partai Demokrat, M Nazaruddin.
Sebut saja kasus suap proyek pembangunan wisma atlet SEA Games Palembang, dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan Rumah Sakit Khusus Pendidikan Infeksi dan Pariwisata di Universitas Udayana, dan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pembelian saham PT Garuda Indonesia.
Terpidana korupsi yang juga mantan Anggota DPR M Nazaruddin menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Selasa (27/9/2016). Nazaruddin diperiksa sebagai saksi terkait kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) yang menjerat Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Sugiharto sebagai tersangka. TRIBUNNEWS/HERUDIN
Nazaruddin tengah menjalani hukuman pidana penjara selama 7 tahun di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung, Jawa Barat.
Sementara istrinya, Neneng Sri Wahyuni, juga tidak luput dari jerat hukum.
Istri M Nazaruddin ini terlibat dalam kasus korupsi dalam pengadaan dan pemasangan PLTS Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2008.
Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 6 tahun penjara, denda Rp 300 juta, dan uang pengganti Rp 800 juta kepada Neneng.
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pun memperberat pidana uang pengganti Neneng dari semula Rp 800 juta menjadi Rp 2,604 miliar.
Neneng sempat mengajukan kasasi, tapi dia mencabut kasasinya tanpa alasan.
Ade Swara dan Nurlatifah
Bupati Karawang Ade Swara beserta istrinya, Nurlatifah, divonis masing-masing enam dan lima tahun penjara karena terbukti memeras PT Tatar Kertabumi, Karawang dalam pengurusan izin Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan.
Terdakwa mantan Bupati Karawang Ade Swara dan istrinya Nurlatifah menjawab pertanyaan majelis hakim dalam sidang lanjutan kasus dugaan pemerasan pengurusan izin Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) PT Tatar Kertabumi dan pencucian uang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jalan RE Martadinata, Kota Bandung, Selasa (24/3/2015). Dalam sidang dengan agenda pemeriksaan terdakwa tersebut, majelis hakim mengajukan sejumlah pertanyaan kepada kedua terdakwa soal transaksi bisnis yang dilakukan selama Ade Swara menjabat Bupati Karawang. TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
Pasangan suami istri tersebut diduga memeras PT Tatar Kertabumi sebanyak Rp 5 miliar.
Selain pemerasan, pasangan suami-istri itu juga terjerat dugaan tindak pidana pencucian uang.
Pelaksana Tugas Wakil Ketua KPK Johan Budi mengatakan, keduanya juga telah menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi.
Tindakan tersebut dilakukan oleh Ade dan Nurlatifah untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Keduanya dijerat pasal 12 e atau pasal 23 Undang-undang No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 421 KUHP jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Untuk dugaan pidana pencucian uang, mereka disangka melanggar pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP dan Pasal 3 ayat (1) huruf a dan c UU Nomor 15 tahun 2002 tentang TPPU yang diubah Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003 Juncto Pasal 65 ayat (1) ke-1 KUHP.
Terakhir mantan Bupati Karawang, Jawa Barat Ade Swara dan istrinya, Nur Latifah melakukan kejahatan korupsi dengan memeras pemohon izin pembangunan mal di Karawang miliaran rupiah. KPK menangkap tangan Ade dan Nur Latifah pada 18 Juli 2014.
Atas perbuatannya, Ade dihukum 7 tahun penjara dan Nur Latifah dihukum 6 tahun penjara. Selain itu, hak politik keduanya juga dicabut.