Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA --- Sudah dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang terjerat kasus korupsi.
Pada 2013 lalu Ketua MK, yang juga merupakan kader Partai Golkar, Akil Mochtar ditangkap, kini hakim MK Patrialis Akbar yang merupakan kader Partai Amanat Nasional (PAN) ditangkap karena kasus serupa.
Apakah status kader Partai Politik berpengaruh terhadap integritas dan independensi lembaga MK, menurut direktur riset SETARA Institute, Ismail Hasani, dalam kasus Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, hal tersebut tidak bisa dikaitkan.
"Ini bagian dari prilaku individu yang menyimpang dan koruptif," ujarnya kepada wartawan di kantor SETARA Institute, Jakarta Selatan, Jumat (27/1/2017).
Sebelumnya sempat diwacanakan kader Partai Politik yang bisa mendaftar proses seleksi hakim MK, adalah seseorang yang sudah sepuluh tahun keluar dari partai.
Namun wacana tersebut gagal, karena menurut Ismail Hasani waktu sepuluh tahun itu tidak menjamin seseorang bebas dari tindakan koruptif.
"Saat ini siapa sih yang menjamin, koneksi kan bisa didapatkan dengan mudah. Bukan orang partai politik pun banyak yang terlibat masalah," katanya.
Patrialis Akbar yang diamankan kemarin, Kamis (26/1) di Jakarta, adalah hakim MK yang sudah dua kali ikut seleksi hakim MK.
Pada 2008 lalu ia gagal di proses tersebut, dan pada 2009 ia mengundurkan diri. Patrialis Akbar bisa menjadi hakim MK setelah Presiden Susilo Bambang Yudoyono menunjuknya.
Dalam kasus tersebut dapat dikatakan tidak ada peran DPR dalam pengangkatan Patrialis Akbar mennjadi hakim MK. Padahal sebelumnya proses di DPR itu lah yang selalu dituding banyak pihak sebagai proses yang penuh transaksi.
"Orang melihat di DPR lebih politis, tapi Patrialis ini kan dia masuk lewat jalur Presiden, bukan DPR," terangnya.
Agar tidak ada lagi hakim MK yang terjerat kasus korupsi, menurutnya kewengan MK yang dapat dikatakan absolut harus dikurangi.
Pasalnya dengan aturan yang ada saat ini, MK bisa mengadili dirinya sendiri. Kasus itu terjadi pada kasus kewenangan Komisi Yudisial terhadap Hakim Agung dan Hakim MK, yang disidangkan di MK, dan hasilnya KY tidak bisa menyentuh hakim MK.
"Selain itu perlu ada pengawasan lebih terhadap MK, tidak hanya dewan etik, mungkin kewenangan KY bisa ditingkatkan untuk mengawasi hakim MK," terangnya.