News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus Ahok

DPD RI: Hak Angket Penyadapan Mengada-ada

Penulis: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono saat akan memberikan konferensi pers terkait tudingan oercakapan telepon dengan Ketua MUI Ma'ruf Amin di Wisma Proklamasi, Jakarta, Rabu (1/2/2017). Dalam keterangannya, SBY membenarkan bahwa benar adanya percakapan dengan Ketua MUI Ma'ruf Amin namun tidak ada kaitannya dengan kasus penistaan agama yang menjerat Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dan meminta aparat penegak hukum untuk mengusut kabar penyadapan pembicaraan telepon dirinya dengan Ketua MUI Ma'ruf Amin. TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Andrianus Garu mengatakan, upaya Fraksi Partai Demokrat di DPR RI menggalang hak angket untuk menyelidiki dugaan penyadapan terhadap Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terlalu jauh dan mengada-ada.

Selain belum ada bukti penyadapan, dalam sidang pengadilan terkait dugaan pensitaan agama oleh Gubenur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), tidak pernah digunakan kata penyadapan.

“Ini terlalu jauh dan sangat mengada-ada. Persoalan kan ada di persidangan, bagaimana kuasa hukum terdakwa mengali kebenaran untuk membuktikan apakah saksi jujur atau berbohong," kata Senator asal NTT itu di Jakarta, Jumat (3/2).

Andre mengatakan, dalam persidangan, menggali informasi dari saksi itu hal biasa.

Tetapi yang menjadi luar biasa, ketika tim kuasa hukum Ahok menggali keterangan dari Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Maruf Amin terkait pembicaraan telepon dengan Presiden Ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono, timbul kegaduhan luar biasa di luar sidang pengadilan.

“Yang gaduh justru di luar persidangan. Di dalam sidang sendiri tidak terjadi apa-apa. Hakim pun tidak menegur tim hukum Ahok dan itu artinya tak ada yang salah,” kata dia.

Mengukur Kejujuran

Andre lebih jauh menjelaskan bahwa adalah hal biasa dalam persidangan penasihat hukum mencecar pertanyaan kepada saksi yang dihadirkan.

“Itu salah satu cara penasihat hukum untuk mencari kebenaran, apakah saksi berkata jujur atau tidak. Jadi itu untuk menguji tingkat kejujuran saksi," kata dia.

Soal penyadapan, Andre mengatakan, itu tidak bisa dilakukan sembarangan karena ada prosedur yang harus dipatuhi dalam pengawasan ketat.

Ada beberapa lembaga yang boleh melakukan penyadapan yakni Polri dan Kejaksaan untuk masalah kriminal, KPK khusus korupsi, BIN untuk kemanan, dan BNPT untuk terorisme.

Penyadapan juga dilakukan sebagai alat ukur untuk mengetahui tingkat kejujuran seseorang.

Dalam kasus Ahok, kalau memang benar ada kata penyadapan yang terucap dari kuasa hukum Ahok, itu dilakukan untuk mengukur tingkat kejujuran para pihak yang terlibat.

“Hasilnya kita semua lihat, Pak Ma'ruf membantah pernah ditelepon SBY. Sementara SBY mengakui pernah menelepon ketua MUI itu. Jadi ini juga menjadi alat ukur untuk mengetahui tingkat kejujuran seseorang,” katanya.

Sebelumnya, kuasa hukum Ahok, Humphrey Djemat, mengklarifikasi pemberitaan yang menyebutkan pihaknya memiliki transkrip atau rekaman pembicaraan telepon antara SBY dan KH Maruf Amin.

Humphrey mengatakan, pihaknya tidak pernah sekalipun menyebut adanya transkrip atau rekaman pembicaraan telepon tersebut.

“Terkait konferensi pers Pak SBY, saya mendengar sepintas, bahwa ada transkrip yang dipegang tim penasihat hukum. Tidak pernah kita ungkapkan di pengadilan, saya tidak tahu kenapa ada kesimpulan itu. Persidangan kan direkam,” kata Humphrey kepada sebuah televisi nasioal.

Karena itu, dia memastikan dalam persidangan itu tidak pernah muncul kata “rekaman” dan “transkrip”.

“Kebetulan saya yang bicara banyak soal komunikasi Pak SBY dan Maruf Amin. Saya tidak pernah muncul kata rekaman atau transkrip,” kata Humphrey.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini