TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Intelijen Negara (BIN) punya peran menjalankan fungsi intelijen dalam dan luar negeri.
Merebaknya kabar ada penyadapan terhadap Presiden ke-6 RI yang juga Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membuat BIN kembali angkat bicara.
BIN memandang, dugaan ada penyadapan itu perlu dibuktikan dengan transkrip percakapan ataupun audio.
Jika tidak ada bukti, seperti transkrip atau audio, BIN menilai, dugaan penyadapan ini bisa jadi hanyalah sekadar asumsi.
Pada kesempatan tersebut, BIN pun menjelaskan, penyadapan hanya dapat dilakukan oleh institusi seperti BIN, Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Polri.
Itu dilakukan untuk mengungkap sebuah perkara dan bukan untuk menyasar kepentingan pribadi.
Lebih rinci, peraturan terkait penyadapan diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Dalam UU ITE, penyadapan masuk dalam istilah intersepsi.
Intersepsi atau penyadapan adalah kegiatan untuk mendengarkan, merekam, membelokkan, mengubah, menghambat, dan atau mencatat transmisi informasi dan atau dokumen elektronik yang tidak bersifat publik, baik menggunakan jaringan kabel komunikasi maupun jaringan nirkabel, seperti pancaran elektromagnetis atau radio frekuensi.
Berdasarkan Pasal 31 Ayat 3 UU ITE, intersepsi bisa dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
Jika Pasal 31 Ayat 3 UU ITE ini dilanggar, ada ancaman hukumannya, yakni pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda Rp 800 juta.
Dalam hal penyadapan, Mabes Polri memastikan selalu melakukan hal ini sesuai koridor penegakan hukum.
Sejauh ini, Polri belum menemukan adanya kasus penyadapan ilegal.
Karena itu, Polri siap menelusuri dan memproses secara hukum jika memang ada praktik penyadapan ilegal yang terjadi di luar koridor hukum.
>