TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis Akbar (PAK) tidak banyak bicara usai dipanggil sebagai tersangka penerima suap dalam uji materi perkara di MK oleh tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Selasa (14/2/2017).
Baca: Dua Hakim MK dan Empat Tersangka OTT Suap Patrialis Akbar Diperiksa KPK
Kepada awak media, Patrialis mengaku pihaknya sangat menghormati KPK dalam melaksanakan tugasnya. Terlebih Patrialis turut serta berkontribusi dalam eksisnya KPK.
"Berdirinya KPK ini, saya punya kontribusi besar. Saya ikut mengolah bagaimana UU KPK eksis di negara ini bahkan saya dua kali menjadi ketua panitia seleksi pimpinan KPK," ucap Patrialis.
Bahkan Patrialis meminta semua pihak memberikan kesempatan pada KPK untuk bekerja menuntaskan penyelidikannya.
Nantinya baik Patrialis maupun KPK akan berjuang bersama-sama mencari keadilan di meja hijau.
"Biarlah proses ini berjalan sampai pengadilan, KPK berjuang di pengadilan dan saya juga berjuang di pengadilan. Terima kasih," imbuhnya.
Seperti diketahui, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis Akbar (PAK) resmi ditetapkan sebagai tersangka penerima suap oleh KPK.
Selain itu, teman Patrialis, yakni Kamaludin (KM) juga ditetapkan sebagai tersangka karena berperan sebagai perantara suap.
Dalam perkara ini, Patrialis Akbar disangkakan menerima suap dari tersangka Basuki Hariman (BHR) bos pemilik 20 perusahaan impor daging dan sekretarisnya yang juga berstatus tersangka yakni NG Fenny (NGF).
Oleh Basuki, Patrialis Akbar dijanjikan uang sebesar 20 ribu dolar AS dan 200 ribu dolar Singapura terkait pembahasan uji materi UU No 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan hewan.
Atas perbuatannya Patrialis dan Kamaludin diduga sebagai penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf c atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara tersangka Basuki dan NG Fenny sebagai pemberi suap dijerat dengan Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 UU No 31 tahun 1999 diubah dengan UU No 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.