TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tak hanya terkenal di dalam negeri, Bisnis waralaba ayam khas Korea Selatan membuka cabang hingga ke seluruh Asia Timur dan Tenggara.
Di dalam negeri, keberadaan restoran terebut memunculkan aturan yang mengatur berapa jumlah restoran yang boleh dibuka di satu daerah.
Sisi gelap dari kehidupan bisnis ayam goreng Korea Selatan adalah jatuh bangkrutnya beberapa pemilik restoran ayam goreng di dalam negeri.
Berikut kisah lengkapnya seperti dilansir Program Asia Calling produksi dari Kantor Berita Radio (KBR).
Perbedaan utama antara ayam goreng Amerika dan Korea ada di bumbunya.
Salah satu yang populer di sini adalah bumbu kecap atau bawang putih, tapi rasa ayam goreng Korea klasik adalah yangnyum.
Lee Seon-young adalah pemilik sebuah restoran ayam goreng dan bir di lingkungan saya.
Dia sedang menambahkan saus manis dan pedas di atas setumpuk ayam renyah yang baru saja dikeluarkan dari penggorengan.
Tidak seperti resep asli Kolonel Sanders, bahan-bahan membuat yangnyum bukan rahasia.
“Saya biasanya beli saja. Bahan-bahannya yaitu sirup gula, pasta cabai, saus tomat dan paprika bubuk dan beberapa bahan lain,” jelas Lee.
Ada sekitar 50 ribu restoran ayam goreng di Korea Selatan. Kebanyakan adalah usaha waralaba dan melayani antar langsung ke rumah konsumen dengan sepeda motor.
Padahal ada puluhan restoran kecil di setiap daerah perumahan. Jeong Eun-jeong adalah penulis buku tentang sejarah industri ayam goreng Korea.
Dia mengatakan restoran ayam goreng muncul 20 tahun yang lalu setelah krisis keuangan Asia yang berdampak luas pada perekonomian Korea.
“Saat itu banyak pria paruh baya dipecat dari pekerjaan mereka. Banyak dari mereka kemudian membuka restoran waralaba ayam goreng,” papar Jeong.
“Jadi restoran ini menjadi populer bukan karena orang Korea sangat suka makan goreng ayam tapi karena tiba-tiba ada begitu banyak tempat semacam ini. Sejak itu orang Korea mulai makan lebih banyak ayam goreng, “ungkap Jeong.
Dia menjelaskan ada pengertian di Korea, jika Anda ingin punya bisnis sendiri, Anda harus membuka restoran. Meski Anda tidak punya pengalaman dalam industri makanan atau cara memasak.
Jadi para pengusaha pun ikut kelas kuliner di akademi untuk belaja mengolah ayam. Akademi ini dijalankan oleh waralaba.
Shin Hyun-ho mengelola sebuah sekolah di Seoul. Dia mengajar para pendatang baru dalam bisnis ini, cara memasak dan mengelola waralaba. Dia mengatakan meski ini adalah industri yang kompetitif tapi jalan meraih sukses masih terbuka lebar.
“Semua orang suka ayam sehingga ada banyak pelanggan. Dan investasi awal tidak harus banyak tergantung pemilik baru,” kata Shin.
Investasi yang murah adalah salah satu yang menarik banyak pengusaha masuk ke bisnis ayam goreng ini.
Tiga tahun lalu, Park Shi Kyung, mengambil pinjaman sebesar dua milyar rupiah untuk membuka restoran ayam goreng.
Pria berusia 45 tahun ini mengaku bisnisnya berjalan lancar. Tapi dia mengatakan harus menghasilkan lebih banyak uang untuk menghidupi keluarganya.
“Di usia saya sekarang ini, saya harus mendapatkan lebih banyak uang untuk membayar biaya les dua anak saya agar bisa masuk universitas. Tapi menjalankan bisnis semacam ini lebih sulit daripada yang saya kira,” kata Park.
Restoran Park adalah salah satu dari sekitar 50 restoran ayam goreng di lingkungan ini.
Dia mengatakan kompetisi yang ketat serta ekonomi yang berjalan lambat membuat restorannya sulit menghasilkan uang.
“Ya rata-rata dalam sebulan saya tidak menghasilkan uang sama sekali. Setelah membayar kembali pinjaman, membeli bahan, membayar staf dan membayar sewa, keuntungan saya adalah nol,“ kata Park.
Penulis tentang industri ayam goreng, Jeong Eun-jeong, mengatakan situasi Park juga dialami penguasa lain. Kebanyakan pemilik waralaba tidak pernah meraup keuntungan.
Dia mengatakan mereka juga tidak bisa menutup restoran karena itu akan membuat pengusaha kehilangan segalanya.
“Kebanyakan pemilik restoran ayam goreng menjadikan apartemen mereka sebagai jaminan ketika mengambil pinjaman untuk membuka restoran . Jadi ketika usaha mereka tutup, mereka bisa kehilangan rumah juga,” papar Jeong.
Jeong memperkirakan setiap tahun, sekitar setengah dari semua restoran ayam goreng di Korea keluar dari bisnis ini.
Tapi itu tidak menghentikan pengusaha baru memasuki pasar.
Kurangnya lapangan kerja bagi lulusan perguruan tinggi membuat usia pemilik restoran makin muda.
Seperti penguasa berusia 31 tahun bernama Lee Seon-young, pemilik restoran ayam goreng di lingkungan saya.
Lee mengaku tahu betapa sulitnya bisnis ayam goreng ketika dia membuka tempat ini enam bulan lalu.
Dia bahkan mengungkapkan ada ungkapan untuk menggambarkan persaingan antarrestoran.
“Kami menyebutnya permainan ayam. Orang menurunkan harga agar makin kompetitif tapi akibatnya mereka bisa terlempar keluar dari bisnis ini,” kata Lee.
Lee mengatakan sejauh ini, bisnis ayam gorengnya masih bagus dan dia tidak perlu ikut-ikutan dalam permainan ayam.
Penulis : Jason Strother / Sumber : Kantor Berita Radio