TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Freeport Indonesia (PTFI) mengancam pemerintah Indonesia untuk membawa ke arbitrase bila dalam jangka waktu 120 hari tidak membolehkan Freeport tetap melakukan ekspor dan mempertahankan Kontrak Karya (KK) atau dibuatnya Perjanjian Stabilisasi Investasi.
Menanggapi hal itu, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana menilai ancaman Freeport tersebut merupakan bentuk arogansi. Karena Freeport merasa sejajar dengan pemerintah Republik Indonesia.
Hal ini menurut Prof Hikmahanto terjadi disebabkan karena KK mendudukkan pemerintah sejajar dengan Freeport. Secara hukum ini janggal.
Apakah mungkin di era saat ini sebuah negara yang berdaulat dengan jumlah penduduk 250 juta diposisikan sejajar dengan pelaku usaha?
Demikian Guru besar UI ini mempertanyakan.
Hikmahanto melihat Freeport telah salah memposisikan pemerintah Indonesia secara sejajar mengingat kedudukan pemerintah ada dalam dua dimensi.
Dimensi pertama adalah pemerintah sebagai subyek hukum perdata.
Pasalnya Pemerintah kerap memiliki posisi subyek hukum perdata dalam kegiatannya seperti melakukan pengadaan barang dan jasa.
Sebagai subyek hukum perdata maka kedudukan pemerintah memang sejajar dengan pelaku usaha.
Namun Hikmahanto tegaskan, ada dimensi lain dari pemerintah yaitu sebagai subyek hukum publik.
"Sebagai subyek hukum publik maka posisi pemerintah berada diatas pelaku usaha dan rakyat," tegas Hikmahanto kepada Tribunnews.com, Selasa (21/2/2017).
Fiksi hukum yang berlaku adalah ketika pemerintah membuat aturan maka semua orang dianggap tahu. Pemerintah memaksakan aturan untuk diberlakukan dengan penegakan hukum.
Bila rakyat atau pelaku usaha berkeberatan dengan aturan yang dibuat maka mereka dapat memanfaatkan proses uji materi baik di MK maupun MA.
Menurutnya, dua dimensi ini yang dinafikan oleh Freeport melalui KK dimana pemerintah seolah hanya merupakan subyek hukum perdata.