"Sayangnya, pertempuran di media sosial sekarang semakin kelewatan. Tidak hanya meluruskan citra tokoh yang dibela, namun para buzzer ini juga menyerang tokoh lawan. Beritanya semakin aneh-aneh dan nggak masuk akal," katanya.
Sumber Tribun Jogja ini mengungkapkan, buzzer ada pada banyak Pilkada.
Mereka yang tahu aturan main biasanya fokus pada memoles citra tokoh yang mengorder mereka.
"Namun, ada pula yang fanatik. Mereka biasanya nggak peduli lagi dengan cara. Nyerang nggak karuan pada lawannya," ujarnya.
Bisnis hoax ini menurutnya tidak terlalu terkait dengan ideologi yang dianut tokoh. Para produsen ini murni mengerjakan order.
Dalam perhelatan Pilkada misalnya, bisa dimahar Rp 500 juta-1 miliar per tim pembuat hoax.
Untuk hoax-nya sendiri tidak melulu berupa berita namun juga bisa berupa meme.
"Memang ada pula yang bergerak karena kesamaan ideologi. Namun lebih banyaknya ya karena duit," katanya.
Cara aman untuk memproduksi berita semacam ini menurutnya adalah menguatkan citra tokoh.
Menurutnya, akan sangat kontraproduktif apabila menyerang tokoh lawan.
"Orang jenuh dengan berita sampah. Masyarakat juga semakin cerdas," tegasnya. (tribunjogja.com)