Sementara Ilham Bintang mengatakan, filosofi dari sidang terbuka untuk umum adalah agar pengadilan berjalan dengan fair dan adil, karena dapat disaksikan dan diawasi langsung oleh publik.
Pers, kata dia, ialah wakil dari publik yang tidak dapat datang ke sidang pengadilan.
Ilham menegaskan bahwa melarang pers melakukan siaran langsung sama saja dengan memasung hak publik untuk mengetahui apa yang terjadi dalam sidang e-KTP, memberangus kemerdekan pers, dan justeru dapat memicu jalannya sidang peradilan yang tidak fair dan tidak jujur.
"Karena menyangkut nama tokoh dan pejabat penyelenggara negara, publik bisa curiga dan menduga-duga bahwa ada pengaturan hingga sidang itu tidak boleh disiarkan secara langsung oleh televisi," kata Ilham Bintang.
Sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum, Dewan Kehormatan PWI Pusat berpendapat, hanya sidang peradilan anak dan kasus-kasus asusila saja yang bersifat terutup dan tidak boleh disiarkan secara langsung.
Hal ini karena untuk melindungi kepentingan anak-anak dan menghindari penyiaran kasus asusila menjadi konsumsi umum.
Selebihnya Dewan Kehormatan PWI menegaskan seluruh sidang yang menurut KUHAP dinyatakan terbuka untuk umum, harus dapat disiarkan langsung.
Terkait adanya kekhawatiran para saksi akan saling mempengaruhi jika sidang disiarkan langsung, Dewan Kehormatan PWI berpendapat, seharusnya bukan persnya yang diberangus, tetapi terhadap para saksi yang harus diatur sedemikian rupa sehingga saksi satu dan lainnya tidak saling mengetahui.
"Maka yang diperlukan aturan mengenai para saksi dan bukannya membungkam kemerdekaan persnya dengan melarang siaran langsung," kata Ilham.
Dewan Kehormatan PWI Pusat secara tegas meminta agar larangan peliputan siaran langsung sidang yang terbuka untuk umum segera dicabut. (eri/wly)