TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Setya Novanto belum bisa dilengserkan dari jabatan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, hanya karena ia disebut terlibat korupsi, dalam dakwan Irman dan Sugiharto, dua terdakwa kasus mega korupsi e-KTP.
Hal itu dikatakan oleh Ketua Mahkamah Partai Golkar, Muladi.
"Masih terlalu cepat itu, kita baca pengumuman KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) juga masih bingung," ujar Muladi usai menghadiri rapat di Kantor Kementerian Kordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM, (Kemenkopolhukam), Jakarta Pusat, Senin (20/3/2017).
Dalam dakwaan tersebut di jelaskan pada sekitar tahun 2009 lalu, Setya Novanto sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar, bersama sejumlah pejabat DPR lainnya saat itu, termasuk Anas Urbaningrum, disebut terlibat dalam pengaturan anggaran proyek e-KTP yang mencapai Rp 5,9 triliun rupiah.
Setya Novanto atau yang sering dipanggil Setnov itu dan sejumlah petinggi DPR lainnya, disebutkan menyepakati jatah untuk dirinya dan pengusaha pemenang proyek e-KTP, Andi Agustinus alias Andi Narogong, adalah 11 persen dari anggaran, yakni Rp 574.200.000.000..
Namun sampai saat ini status Setnov dalam kasus mega korupsi itu masih sebatas saksi.
Ia sendiri dalam sejumlah kesempatan sempat membantah tuduhan dari para terdakwa kasus e-KTP, bahwa dirinya sempat menerima uang suap.
Muladi yang sempat menjabat sebagai Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) itu mengatakan partai baru bisa mengambil sikap, jika ada keputusan lebih jelas dari lembaga penegak hukum terhadap keterlibatan Setnov dalam kasus tersebut.
"Harus ada kejelassan dulu, yang jelas siapa terdakwa, dan buktinya jelas, baru partai harus mengambil langkah-langkah yang sangat bijaksana," ujarnya.