TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kepala Subdit IT dan Cyber Crime Bareskrim Polri Kombes Pol Himawan Bayu Aji mengatakan, tidak semua pelaku dalam kasus penyebaran informasi hoax dan ujaran kebencian dijerat pidana.
Ada upaya tindak lanjut yang dinamakan restorative justice yang menitikberatkan adanya keadilan antara pelaku dan korban.
"Jadi tindakannya tidak selalu dipidana," ujar Himawan dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (25/3/2017) malam. Dengan cara itu, polisi memediasi korban dan pelaku untuk mencari penyelesaian perkara pidana.
Himawan mengatakan, restorative justice bisa dilakukan terhadap pelaku yang hanya ikut menyebarkan konten hoax atau ujaran kebencian tetapi tidak menjadi viral.
"Tapi dengan kewajiban dia minta maaf dan menghapus kontennya," kata Himawan.
Selain itu, pelaku juga diajak menjadi agen Polri untuk memerangi hoax. Himawan mengatakan, mereka harus mengedukasi komunitas di sekitarnya bahwa hal yang dia sebarkan salah.
"Edukasi ini penting juga. Dengan edukasi yang baik dia tahu ini tidak benar. Etika komunikasi medsos akan muncul," kata Himawan.
Sebelumnya, Himawan menyebut, konten berisi ujaran kebencian merupakan jenis tindak pidana yang paling banyak diadukan masyarakat ke polisi.
Pada 2015, jumlah laporan yang masuk berkaitan dengan ujaran kebencian sebanyak 671 laporan.
Tahun 2016, jumlah laporan mengenai hal itu juga tinggi. "Tertinggi 2016 itu hate speech, soal SARA," ujarnya.
Ujaran kebencian itu meliputi pencemaran nama baik, pelecehan, fitnah, provokasi, dan ancaman. Dari laporan tersebut, yang baru ditangani 199 kasus.
Reporter: Ambaranie Nadia Kemala Movanita