TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti Transparansi Internasional Indonesia (TII) Jonni Oeyoen melihat proyek e-KTP sudah bermasalah sejak awal.
Pada tahap pengadaan, Harga Perkiraan Sementara (HPS) seharusnya disusun oleh panitia lelang.
Namun pada proyek e-KTP, HPS disusun oleh tim eksternal milik pengusaha Andi Narogong
."Di proses pengadaan kita sebenarnya sudah lihat penyakit dari pengadaan itu. Pengadaan fiktif sudah direncanakan dari awal. Jadi sudah ada semacam skenario dari awal," kata Jonni dalam diskusi Ngobrol Pintar (Ngopi) bertajuk "Korupsi e-KTP dan Dampaknya Bagi Demokrasi Kita" di D Hotel, Jakarta, Minggu (2/4/2017).
Baca: Perludem Ungkap Alasan Kasus e-KTP Masuk Kategori TSM
Jonni juga menemukan kejanggalan lainnya yakni penetapan pemenang konsorsium oleh Kemendagri yang sangat cepat.
Padahal, saat itu masih terdapat konsoraium yang melakukan sanggah banding atas pemenangan lelang.
Jika terjadi sanggah banding, kata Jonni, seharusya kontrak proyek dihentikan terlebih dahulu.
"Tapi faktanya itu tidak terjadi. Kontrak malah sudah di tandatangani. Kontrak harusnya di tandatangani ketika sanggah banding sudah dijawab oleh pengguna anggaran dalam hal ini Kemendagri," kata Jonni.
Jonni mengatakan pada tahap konsorsium sebenarnya tidak ada permasalahan. Konsorsium dibentuk oleh gabungan perusahaan agar memperkuat modal.
"Yang masalah, ketika lelang ini seperti dipaksakan. Di evaluasi, sesungguhnya dari delapan konsorsium itu tidak ada satupun yang lolos, tidak mampu mengintegralkan sebuah alat. Seharusnya gugur semua. Tapi dipaksakan," kata Jonni.
Akibatnya, kata Jonni, target 2011 untuk membuat 170 juta keping e-KTP tidak tercapai dan hanya dapat memproduksi 120 juta.
"Dari situ saja sudah tidak tercapai," kata Jonni.