TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT PLN (Persero) masih menunggu hasil pemeriksaan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dalam menjalankan kembali 34 proyek pembangkit listrik yang mangkrak dari program Fast Tracking Project (FTP) periode 2007-2011.
Direktur Pengadaan PLN, Supangkat Iwan Santoso mengatakan, PLN tidak bisa langsung melanjutkan pengejaan proyek pembangkit listrik yang berhenti tanpa menunggu hasil pemeriksaan BPKP dari masing-masing proyek tersebut.
"Posisi PLN saat ini menunggu BPKP, diperkirakan akan selesai pada tiga sampai empat bulan selesai pemeriksaannya," ujur Iwan di Jakarta, Senin (10/4/2017).
Menurut Iwan, proses pemeriksaan BPKP meliputi biaya investasi yang akan dikeluarkan PLN untuk melanjutkan pembangunan pembangkit listrik, sebab biaya pada tahun lalu dengan saat ini pastinya jauh berbeda.
"Jadi nanti ketahuan berapa penambahan biaya yang wajar, dimana BPKP ini meriksa kekurangannya berapa, misalnya dulu Rp 100 miliar cukup, kemudian ada kenaikan menjadi Rp 120 miliar," tutur Iwan.
Lebih lanjut dia mengatakan, tidak semua proyek pembangkit listrik dari program FTP diteruskan karena ada beberapa yang belum memiliki progres sama sekali.
"Target selesai semua (proyek yang dikerjakan) tahun ini ada yang selesai, tapi secara keseluruhan bisa selesai 2018," ucap Iwan.
Sebelumnya, Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN, I Made Suprateka mengatakan, 34 proyek pembangkit listrik tersebut sudah dibangun sejak masa lalu dan hingga pemerintahan Presiden Joko Widodo belum juga selesai.
"Sebetulnya bukan mangkrak, hanya tertunda. Jadi dari total 34 proyek itu ada 23 proyek yang bisa dijalankan lagi, 11 proyeknya itu dihentikan karena masih bahan baku dalam arti masih tanah belum ada progresnya," kata Made .
Direktur Bisnis Regional Maluku-Papua PLN, Haryanto W.S menambahkan, dalam melanjutkan proyek pembangkit listrik yang tertunda maka PLN didamping oleh Kejaksaan Agung serta Tim Pengawal dan Pengaman Pemerintah dan Pembangunan (TP4P) untuk memenuhi aspek legalnya.
"PLN juga didampingi oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menilai alat mana yang dibisa dipakai atau tidaknya kemudian kita biayai (pergantian alatnya)," ujar Haryanto.