TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada persidangan kasus dugaan penodaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahja Purnama alias Ahok, yang berlangsung Kamis (20/4/2017) siang tadi di Auditorium Kementerian Pertanian menuntut Ahok hukuman 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun.
Tuntutan itu terkait dengan pernyataannya di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016 yang menyitir bahwa Surat al-Maidah: 51 digunakan oleh beberapa orang untuk membohongi rakyat guna kepentingan politik mereka dalam kontestasi electoral.
Jaksa dalam surat tuntutannya menyatakanm Ahok sebagai terdakwa tidak terbukti melakukan tindakan pidana yang melanggal pasal 156a KUHP sebagai dakwaan primer.
Namun Ahok dinyatakan secara sah dan terbukti melanggal pasal 156 KUHP sebagai dakwaan alternative. Tuntutan JPU yang membebaskan terdakwa dari tuntutan pasal 156a, menguatkan pandangan berbagai pakar hukum, tokoh agama, akademisi dan aktivis NGO bahwa unsur penistaan agama dalam pernyataan Ahok yang menyitir al-Maidah: 51 sesungguhnya sulit dibuktikan.
Menanggapi hal tersebut, Setara Institute menyatakan, tuntutan tersebut secara tersirat mengindikasikan saat penetapan Ahok sebagai tersangka oleh kepolisian bukanlah sebuah “due process of law”, namun lebih sebagai upaya penegakkan hukum untuk memuaskan hasrat kerumunan politik (political mob) untuk menjebloskan Ahok ke penjara dan menyingkirkannya dari kontestasi Pilgub DKI Jakarta melalui “stigmatisasi penista agama”.
"Berkenaan dengan itu, proses pengadilan yang selama ini dilaksanakan dengan menempatkan Ahok di kursi pesakitan, sejatinya hanyalah konsekuensi dari tindakan pemenuhan hasrat politik tersebut," sebut Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute dalam keterangan pers tertulisnya kepada Tribunnews, Kamis (20/4/2017).
Dia menyatakan, proses peradilan atas Ahok dengan dakwaan penistaan agama, nyata-nyata merupakan instrumen hukum oleh aparat penegak hukum untuk kepentingan politik.
"Atau setidaknya membiarkan hukum menjadi instrumen memenuhi hasrat dan kepentingan politik kerumunan massa jalanan," kata dia.
"Atas dasar itu Setara Institute mendorong dan meyakinkan majelis hakim yang mulia mengoreksi tindakan kepolisian dan kejaksaan tersebut dengan membebaskan terdakwa Ahok dari segala dakwaan sekaligus merehabilitasi nama baik yang bersangkutan," ujar Tigor.
Dia menambahkan, secara hukum jika JPU secara meyakinkan menyatakan Ahok tidak terbukti melanggar pasal 156a KUHP sebagai dakwaan primer, maka sesungguhnya JPU telah gagal membuktikan “mens rea” (niat jahat) Ahok di balik kalimat pendeknya mengenai al-Maidah: 51 dalam pidato panjangnya di Kepulauan Seribu.
“Permainan itu semakin nyata keanehan proses pro justicia kasus Ahok jika tuntutan pasal 156 KUHP dipaksakan, sebab cakupan pasal 156 lebih luas dibanding pasal 156a, sehingga tuntutan JPU semakin tidak tepat, kabur dan abstrak atas tuntutannya itu," katanya.
"Tuntutan JPU yang terkesan “main-main” semakin kuat mengindikasikan bahwa selama ini peneggakan hukum (law enforcement) tunduk pada aspirasi dan tekanan politik “Pokoknya Ahok harus salah,” kata dia.