Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Saat ini boleh pimpinan teras Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI boleh dibilang didominasi oleh orang dari partai politik (Parpol). Walaupun tidak ada aturan yang melarang seorang anggota partai politik (parpol) ikut dalam pemilihan anggota DPRD, menurut Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas, DPD sejatinya adalah perwakilan daerah, bukan perwakilan partai.
"Kami ini semua bekerja atas dasar kami utusan daerah, bukan utusan partai. Sekarang kami tahu, pimpinan ini dari ketua partai, mulai sekarang ruangan kami mungkin digunakan untuk rapat-rapat partai," ujar GKR Hemas dalam diskusi di acara yang digelar di kantor Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Jakarta Pusat, Kamis (21/4/2017).
Kericuhan di DPD dimulai pada 3 April lalu, saat sekelompok orang yang mendukung pemangkasan masa jabatan pimpinan DPD selama 2,5 tahun, memaksakan agenda pemilihan pimpinan.
Padahal, Mahkamah Agung (MA) sudah memerintahkan agar peraturan DPD nomor 1 tahun 2016 dan tahun 2017 mengenai masa jabatan 2,5 tahun, untuk dicabut.
Akhirnya kelompok yang memaksakan agar masa jabatan dipangkas, sukses mengusung agenda pemilihan, dan mengabaikan pututsan MA.
Oesman Sapta Oedang (OSO) yang merupakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Hanura, dipilih sebagai Ketua DPD secara aklamasi. Sebelumnya, OSO juga sempat mengajak sejumlah anggota DPD untuk masuk ke Partai Hanura.
Pimpinan-pimpinan baru tersebut diangkat sumpahnya oleh Wakil Ketua MA, Suwardi.
GKR Hemas menyayangkan hal tersebut, karena yang dilantik oleh pejabat MA itu adalah kelompok yang mengabaikan putusan MA.
"Ini ilegal. Kalau ilegal berarti pimpinannya ilegal, berarti keputusan keputusannya juga ilegal," terangnya.
GKR Hemas menganggap proses tersebut tidak sah, dan ia masih menganggap dirinya sebagai Wakil Ketua DPD ya sah. Permaisuri Kraton Jogja itu berharap Presiden RI. Joko Widodo, bisa turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
"Kami selau mendoakan kepala negara atau presiden juga harus bisa menengahi perosalan ini, hanya tinggal satu saja, tapi saya berharap memang MA bertanggungjawab terhadap pimpinan yang ilegal," katanya.