Ahok mengibaratkan dirinya seperti Nemo, yang memutuskan untuk melawan arus demi keselamatan dan kesejahteraan orang banyak.
Ahok menegaskan lagi bahwa pidatonya di Kepulauan Seribu dimaksudkan sebagai kritik terhadap politikus yang memperalat agama.
Pledoinya setebal 634 halaman
Sidang dilanjutkan dengan pembacaan nota pembelaan pengacara setebal 634 halaman.
Dalam sidang ke 18 sebelumnya, Jaksa menganggap Ahok terbukti melanggar pasal 156 KUHP tentang menyatakan permusuhan dan kebencian terhadap suatu golongan, namun menganggap Ahok tak terbukti melanggar pasal 156a tentang penistaan agama.
Para penentang Ahok, antara lain kelompok Advokat Cinta Tanah Air, salah satu kelompok yang melaporkan kasus ini, menganggap tuntutan itu terlalu ringan dan menuduh ada rekayasa,
Sebaliknya, salah satu pengacara, Teguh Samudera, menjelang sidang mengatakan bahwa yang merupakan rekayasa justru adalah upaya pemidanaan Ahok.
"Seluruh rangkaian persidangan menunjukkan, tak ada kesengajaan dan niat merendahkan dari pak Basuki dalam pidato di Kepulauan Seribu itu," kata Teguh Samudera.
"Pidato itu justru penyadaran agar warga tetap bebas menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada. Tidak ada kata-kata yang kasar, tak ada yang meresahkan," katanya.
Baca: Bacakan Pledoi, Ahok Merasa Jadi Korban Fitnahan Buni Yani
Pidato Ahok yang menyebut Surat Al Maidah 51 yang dilaporkan dan kemudian berujung pada pengadilannya terjadi pada 27 September 2016, saat melakukan kunjungan kerja di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Fifi Lety Indra, pengacara Ahok yang lain menyatakan bahwa nyatanya saat itu tak ada warga di Pulau Pramuka itu yang marah atau protes.
"Semuanya baik-baik saja, juga setelah videonya diunggah oleh Pemprov DKI. Hingga sembilan hari kemudian, setelah Buni Yani menggunggahnya di akun dia dengan menambahkan kalimat-kalimatnya sendiri, dan mengedit kata-kata Pak Basuki," katanya.