TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi V DPR RI, Miryam S Haryani, menggugat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui sidang pra peradilan yang diajukan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.
Gugatan diajukan atas dasar penetapan status tersangka pemberian keterangan palsu di persidangan kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP berbasis NIK periode 2011-2012.
"Secara garis besar yang paling utama adalah tentang hukum acara penetapan tersangka dari klien kami," tutur penasihat hukum Miryam S Haryani, Mitha Mulya ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (8/5/2017).
Baca: Miryam S Haryani Tak Dihadirkan di Sidang Pra Peradilan
Tim penasihat hukum beralasan penetapan tersangka Miryam S Haryani tidak sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Sebab, pasal yang dikenakan adalah pasal 22 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Pasal yang dikenakan adalah pasal 22 Undang-Undang Tipikor. Itu pasal substansif. Tetapi, terkait hukum acaranya, kami kembali ke pasal 174 KUHAP. Wewenang yang menentukan Ibu Miryam bisa didakwa apa tidak itu ada kewenangan majelis hakim," kata dia.
Sementara di persidangan yang menjerat terdakwa dua mantan pejabat di Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, majelis hakim menolak di persidangan.
"JPU sudah minta kepada majelis hakim langsung didakwa itu langsung ditolak oleh hakim. Sehingga itu menurut kami sudah keluar dari wewenang yang diberikan KUHAP. Seharusnya kalau mau didakwa kewenangan majelis hakim donk, tetapi hakim sudah menolak kok, kok jadi tersangka," tambahnya.
Tim penasihat hukum mendaftarkan gugatan praperadilan didaftarkan pada 21 April 2017 dengan nomor 47/Pid.Prap/2017/PN.Jak.Sel. Praperadilan Miryam bakal dipimpin hakim tunggal Asiadi Sembiring.
Sebelumnya, Miryam S Haryani, tersangka pemberian keterangan palsu karena mencabut keterangan berita acara pemeriksaan (BAP) di sidang kasus korupsi proyek pengadaan KTP berbasis NIK periode 2011-2012.
Di persidangan atas terdakwa Irman dan Sugiharto, pada Kamis (23/3/2017), Miryam menyebut keterangan di BAP di KPK dibuat atas tekanan penyidik.
Lalu, Miryam, mencabut keterangan di BAP di persidangan.
Atas perbuatannya ini, Miryam disangkakan melanggar Pasal 22 jo pasal 35 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah oleh UU nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.