TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - PT Sandipala Arthapura buka-bukaan soal untung yang diraup dalam proyek pengadaan kartu tanda penduduk elektronik alias e-KTP.
Salah satu perusahaan yang tergabung dalam Konsorsium Percetakan Republik Indonesia (PNRI) ini mengaku mendulang untung sebesar Rp 140 miliar.
Hal itu dikatakan pegawai PT Sandipala Arthapura Fajri Agus Setiawan saat bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (15/5/2017).
Fajri bersaksi untuk dua terdakwa mantan pejabat Kemendagri, Irman dan Sugiharto.
"Dari 2011-2013, sekitar Rp 140 miliar sekian, atau 27 persen," ujar Fajri kepada jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurutnya, dalam proyek e-KTP, PT Sandipala mendapat porsi pekerjaan untuk mencetak blanko e-KTP dan melakukan distribusi kartu.
Berdasarkan laporan dari bagian produksi, PT Sandipala telah mencetak dan mendistribusikan 51 juta keping e-KTP.
Selain PT Sandipala, Konsorsium PNRI terdiri atas Perum PNRI, PT Superintending Company of Indonesia (Sucofindo persero), PT LEN Industri (persero), dan PT Quadra Solution.
Bukan hanya itu, Fajri membeberkan perihal harga satu keping e-KTP yang digarap pada 2011-2013.
Ia menyebut, harga satu keping e-KTP hanya Rp 7.500. Namun, harga yang dibayar Kementerian Dalam Negeri untuk satu keping e-KTP melonjak hingga Rp 16.000.
"Menurut hitungan kami, HPP (harga pokok penjualan) yang saya hitung Rp 7.500 per keping," ujarnya.
Mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Sugiharto, didakwa merugikan negara sebesar Rp 2,314 triliun.
Kerugian negara tersebut diakibatkan penggelembungan anggaran dalam pengadaan e-KTP.
Menurut jaksa, kedua terdakwa diduga terlibat dalam pemberian suap terkait proses penganggaran proyek e-KTP di DPR RI, untuk tahun anggaran 2011-2013.
Selain itu, keduanya terlibat dalam mengarahkan dan memenangkan perusahaan tertentu untuk menjadi pelaksana proyek pengadaan e-KTP.
Sidang Praperadilan Miryam Memanas
Terpisah, persidangan praperadilan anggota Komisi II DPR RI, Miryam S Haryani berjalan panas.
Salah satu pengacara Miryam, Mita Mulia sempat beradu argumen dengan Asiadi Sembiring, hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menangani perkara gugatan prapradilan Miryam terhadap KPK.
Sidang memanas justru saat sidang praperadilan memasuki pengujung akhir sidang.
Kejadian itu dimulai saat Asiadi memberi kesempatan pihak pengacara mengajukan tanggapan. Mita hendak berbicara terkait pemeriksaan lanjutan penyidik KPK terhadap kliennya.
Namun, belum selesai Mita berbicara, Hakim Asiadi langsung memotong bahwa pengadilan hanya mengurusi masalah prapradilan.
"Yang kita periksa di sini permohonan prapradilan, yang lain saya tidak bewenang untuk itu," kata Hakim Asiadi.
"Enggak ada hakim praperadilan memeriksa selain permohonan prapradilan, sudah jelas. Tidak perlu ditafsirkan lagi. (Tadi saat baca permohonan) Saudara sudah menerangkan apa wewenang hakim prapradilan. Jadi selain itu saya tidak mau," ujar Hakim Asiadi.
Mita kemudian menyampaikan pihaknya ingin menghadirkan Miryam ke sidang praperadilan berikutnya.
"Mohon maaf yang mulia kami ingin menghadirkan principal kami," ujar Mita.
Tapi, Hakim Asiadi menyatakan bahwa dalam praperadilan tidak ada kewajiban untuk menghadirkan principal.
"Untuk permohonan praperadilan enggak ada kewajiban menghadirkan principal," tegas Hakim Asiadi.
"Sebagai saksi yang mulia," kata Mita lagi.
Hakim Asiadi kemudian menjelaskan, bahwa agenda sidang praperadilan berikutnya Selasa (16/5/2017) adalah mendengar jawaban dari KPK.
Dia meminta pihak pengacara Miryam untuk memahami lagi aturan.
"Tidak ada kewajiban menghadirkan principal di persidangan. Ini bukan perkara peninjauan kembali. Tolong baca kembali. Saudara sudah bacakan apa wewenang hakim praperadilan, jadi jangan tanya lagi," ujar Hakim Asiadi.
Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setiadi meminta agar tim kuasa hukum Miryam, tidak keluar dari koridor aturan yang ditetapkan pengadilan soal praperadilan.
Setiadi mengingatkan, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menangani perkara praperadilan Miryam telah menyatakan tidak menangani atau memeriksa substansi pokok perkara.
"Jadi hanya menangani atau memeriksa hukum acara yang dilakukan KPK terhadap pemohon (Miryam)," kata Setiadi.
Dia juga meminta agar pihak pengacara Miryam memahami dan mengikuti aturan praperadilan.
Pernyataan Setiadi ini merespons rencana pengacara yang hendak menghadirkan Miryam.
"Contoh tadi sudah disampaikan juga ternyata pemohon meminta menghadirkan tapi itu bukan kewenangan praperadilan," ujar Setiadi.
KPK menilai, Miryam tidak perlu dihadirkan ke sidang praperadilan.
"Kalau tadi minta menghadirkan principal atau siapapun, menurut KPK tidak perlu," ujar Setiadi.
Dalam kasus Miryam, KPK menegaskan, telah memiliki pertimbangan hukum dalam menetapkannya sebagai tersangka.
"Kami tidak akan mundur dalam penyidikan ini karena sudah jelas negara tidak boleh kalah dalam hal penanganan pemberantasan korupsi, karena masyarakat sudah sangat dirugikan," ujar Setiadi. (rik/kps)