Laporan Wartawan Tribunnews.com, Fx Ismanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lusiana Sanato, calon Doktor Hukum Universitas Jayabaya, melihat kasus Ahok yang sampai pada keputusan, kasus itu dilihat sebagai sebuah kasus hukum. Lusiana mengatakan, mekanismenya sudah cukup sesuai dengan yang kita inginkan, dimana hukum tidak tunduk terhadap seorang pejabat publik.
"Karena saya percaya, hukum itu adalah mekanisme untuk menyelesaikan masalah secara adil dan bermartabat. Sepanjang semua pihak menjunjung tinggi proses penegakan hukum yang adil dan beradab, dan bukan adu kekuatan untuk merekayasa atau memaksakan kehendak," jelas Lusiana Sanato, beberapa waktu lalu di Jakarta.
Dan lanjutnya, perkara dalam kasus Ahok dinilainya sudah mencerminkan keadilan, karena dalam kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok sudah mendapat ganjaran, vonis 2 tahun penjara, " tambah wanita yang pernah menerbitkan buku "Jejak Jejak Sang Jenderal" itu.
"Tapi yang dimaksud dengan adil dalam kasus Ahok adalah dimana proses peradilan harus menjaga supremasi hukum dengan menegakkan keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum, dengan kata lain tidak ada intervensi dari pihak manapun sehingga hakim dalam memutuskan suatu perkara benar-benar dari hati nurani hakim dalam menjatuhkan suatu vonis putusan," paparnya.
Wanita cantik yang selalu berhijab kelahiran Lampung dan menetap di Bali ini melihat kasus menjadi menarik dikarenakan Ahok adalah pejabat publik yang menjadi tersangka dan terdakwa dan terhukum pidana 2 th pidana penjara.
Lantas, atas terjadinya kasus yang terjadi kepada pejabat publik, Lusiana berharap dimasa datang agar agama jangan dijadikan sebagai objek dalam kancah politik, "Negara akan rusak apabila isu tentang agama dijadikan manuver untuk kegiatan politik praktis, Sebab Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat menjunjung tinggi nilai pluralisme," tandas Lusiana.
Sementara menurut Pengamat Hukum Pidana Indonesia, Dr. Youngky Fernando, SH. MH mengatakan, kasus ahok menjadi menarik dikarenakan Ahok sebagai pejabat publik dan sangat dekat dengan RI-1 penguasa saat ini, yang menjadi tersangka dan terdakwa dan terhukum pidana 2 th pidana penjara.
"Menariknya didalam perspektif Sistem Peradilan Pidana Terpadu (SPPT) Indonesia, jika tersangka dan terdakwa merupakan lawan yang harus dapat dibuktikan kesalahannya yang terberat oleh penyidik dan penuntut umum dan hak kebebasannya akan dipersempit, namun kasus ahok terjadi sebaliknya," ujar Youngky.
Youngky pun memaparkan, kasus ahok adalah cerminan perlakuan diskriminasi jika dibandingkan dengan tersangka dan terdakwa dalam kasus yang sama. "Jika diskriminasi maka itu menampakkan adanya ketidak adilan. Adil bagi ahok dan tidak adil bagi tersangka dan terdakwa lainnya dalam kasus yang sama sersebut, berdasarkan Jurisprudensi MA-RI," tambah Youngky.
Youngky berharap atas terjadinya kasus seperti Ahok, agar kiranya penegakan hukum itu menurut hukumnya, bukan menurut subjektifitasnya korban delik, pelaku delik, penyidik perkara, penuntut umum, majelis hakim. "Yang menariknya lagi, saat itu terdakwa ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, sejak menjadi terdakwa ia tidak diberhentikan sementara dari jabatannya," pungkas Youngky. (*)