Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur PT Melati Technofo Indonesia (MTI) Fahmi Darmawansyah dituntut empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta subisder enam bulan kurungan.
Fahmi kini duduk sebagai terdakwa kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring di lingkungan Bakamla.
Selain pidana penjara, status justice Collaborator (JC) atau saksi pelaku juga ditolak jaksa KPK.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah, ditolaknya JC terhadap suami Inneke Koesherawati itu lantaran sebagai pihak yang memberikan suap atau aktor utama yang memberikan suap kepada sejumlah pejabat di lingkungan Bakamla.
"Karena menurut pertimbangan tim KPK, termasuk Jaksa penuntut umum pihak yang yang memberi (suap) adalah Fahmi (Darmawansyah)," kata Febri kepada wartawan di gedung KPK, Jakarta, Rabu (17/5/2017).
Menurutnya, pemberian status JC kepada seseorang haruslah memenuhi beberapa unsur.
Antara lain, mengakui semua perbuatannya, bukan pelaku utama.
Namun, hal itu tidak didapatkan KPK dari Fahmi Darmawansyah.
Untuk diketahui, dua terdakwa yang merupakan anak buah Fahmi Darmawansyah yaitu Muhammad Adami Okta dan Stefanus Hardi telah mengakui semua perbuatannya atas perintah atasannya Fahmi Darmawansyah untuk memberikan sejumlah uang untuk pejabat Bakamla.
"Saya mengakui semua kesalahan saya, saya sangat menyesal sekali atas perbuatan saya. Saya berjanji demi saya dan keluarga saya, bahwa saya tidak akan pernah mengulangi perbuatan ini lagi," kata Adami saat membacakan pledoinya.
Sementara terdakwa Hardy juga mengakui kesalahannya dan sadar yang dilakukannya telah merugikan bangsa sera negara.
"Saya sadar dengan sepenuhnya sadar bahwa yang saya lakukan ini ternyata berakibat tidak baik kepada negara dan bangsa, karena tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi yang sedang gencar-gencarnya dicanangkan," kata Hardy.
Dalam amar tuntutan jaksa, suami Inneke Koesherawati itu terbukti memberikan suap kepada empat pejabat di Bakamla yakni Nofel Hasan senilai SGD 104.500.
Tri Nanda Wicaksono sebesar uang Rp 120 juta, Bambang Udoyo sebesar SGD 105.000, serta uang SGD 100.000, USD 88.500 dan 10.000 Euro kepada Eko Susilo Hadi.
Jaksa menyebut suap yang diberikan Fahmi adalah untuk kepentingan bisnisnya.
Yakni agar perusahaan yang dimilikinya mengharap proyek di Bakamla.
"Tampak jelas Fahmi ingin memberikan uang kepada Eko, Bambang, Nofel dan Trinanda karena sudah memenangkan perusahaan yang dikendalikan terdkawa yaitu PT MTI. Semua uang dari terdakwa untuk kepentingan terdakwa di Bakamla," kata Jaksa KPK Kiki.
Atas perbuatannya Fahmi disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.