News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kasus Ahok

Petisi Desak Presiden Jokowi Hapus Pasal Penodaan Agama

Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ribuan umat dari lintas agama Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu melakukan doa dan ikrar kebangsaan yang bertajub Mimbar Kebangsaan di Taman Menteri Supeno Kota Semarang, Jumat (12/5). Dalam aksinya malam ini mereka mengharapkan kesatuan NKRI tetep utuh tanpa adanya perbedaan ras, budaya dan agama. (Tribun Jateng/ Hermawan Handaka)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo didesak untuk segera menghapus Pasal 156a dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penodaan agama.

Adapun revisi KUHP sendiri saat ini tengah dibahas antara DPR dan Pemerintah.

Permintaan tersebut dituangkan ke dalam bentuk petisi dari laman change.org dengan judul: "Presiden Jokowi, Hapuskan Pasal 156a tentang Penodaan Agama dari Revisi KUHP".

Telah digulirkan dalam waktu sepekan, hingga Selasa (16/5/2017) malam petisi yang disusun oleh Gita Putri Damayana dan Gita Syahrani telah didukung oleh 9.845 orang.

Adapun petisi tersebut bergulir dipicu dengan adanya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang menjatuhkan vonis 2 tahun penjara terhadap Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok karena dinilai terbukti melakukan penistaan agama.

"Apakah kamu dan cuitanmu akan jadi korban selanjutnya?" tulis Gita dalam petisi tersebut.

Adapun selain kepada Presiden, petisi tersebut juga ditujukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H. Laoly.

Kasus Ahok disebut bukan menjadi satu-satunya melainkan sudah banyak terjadi di masa lalu. Seperti kasus yang menimpa Arswendo Atmowiloto, Gafatar, Lia Eden, hingga H.B. Jassin.

Gita menuturkan, kasus-kasus tersebut menunjukan bahwa Pasal 156a KUHP kerap digunakan untuk menghakimi keyakinan dan gagasan seseorang.

"Bahwa perbedaan adalah sesuatu yang salah," ujarnya.

Mengutip siaran pers YLBHI, implementasi Paaal 156a dikhawatirkan akan semakin kebablasan dan bisa dimanfaatkan untuk banyak kepentingan, tak terkecuali kepentingan politik.

Ditambah dengan adanya data bahwa seringkali vonis kasus penodaan agama disertai dengan dorongan dan tekanan massa yang dinilai berpotensi nengaburkan pentingnya pertimbangan hukum.

Meski ada kemungkinan Pasal 156a dipertahankan dalam KUHP, namun Gita berharap Presiden bisa memberi pertimbangan agar tak menyetujui disahkannya pasal tersebut dalam paket revisi KUHP.

"Artinya, bila Presiden, diwakili oleh Menkumham, tidak menyatakan persetujuannya akan rancangan sebuah RUU, maka RUU tersebut tidak akan meluncur menjadi UU. Kita masih bisa memanfaatkan kesempatan ini dengan bersuara," ujarnya.(Nabilla Tashandra)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini