LAPORAN WARTAWAN TRIBUNNEWS.COM, THERESIA FELISIANI
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami peran jajaran direksi PT Diratama Jaya Mandiri dalam pengadaan helikopter Augusta Westland (AW)-101 milik TNI AU yang diduga merugikan negara Rp220 miliar.
Atas kasus ini, Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI telah memblokir rekening PT Diratama Jaya Mandiri sebesar Rp139 miliar dan menetapkan tiga orang sebagai tersangka.
Mereka yakni:
- Wakil Gubernur Akademi Angkatan Udara Marsekal Pertama Fachri Adamy (FA) dalam kapasitas sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK) atau Kepala Staf Pengadaan TNI AU (Kadisadaau) 2016-2017.
- Letnan Kolonel (Letkol) TNI AU (Adm) berinisial WW selaku Pejabat Pemegang Kas
- Pembantu Letnan Dua (Pelda) berinsial SS selaku staf Pekas yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu.
"Kami tentu menggali peran dari pihak-pihak swasta apa saja. Apakah perannya personal atau ada peran lain yang saling terkait antara sipil dan militer atau pihak perantara dan pihak lain, tentu itu semua kami pelajari," ucap Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Senin (29/5/2017) di Komisi Pemberantasan Korupsi, Kuningan, Jakarta Selatan.
Febri menjelaskan mengenai pemblokiran rekening perusahaan milik PT Diratama Jaya Mandiri adalah kewenangan Puspom TNI yang sudah lebih dulu meningkatkan status kasus ke tahap penyidikan.
"Pemblokiran itu menggunakan kewenangan penyidikan di POM TNI. KPK tidak bisa karena KPK masih di tahap penyelidikan," terangnya.
Bila melihat pasal yang digunakan untuk menjerat ketiga tersangka terkait indikasi kerugian keuangan negara, menurut Febri, KPK pasti mengejar pihak-pihak yang diuntungkan dalam pembelian helikopter tersebut.
Karena sesuai dengan ketentuan, KPK hanya berwenang melakukan pengusutan pihak-pihak dari unsur sipil, sementara Puspom TNI yang mengusut dari unsur kalangan militer.
Untuk diketahui, PT Diratama Jaya Mandiri adalah perusahaan yang berdiri sejak 2005, bergerak di bidang jasa peralatan militer non-senjata.
PT Diratama Jaya Mandiri mengklaim memiliki lisensi Amerika Serikat untuk terlibat dalam bisnis di bawah Peraturan Kontrol Ekspor peralatan militer dari negara tersebut.
Pengadaan helikopter AW-101 sendiri sudah menuai kritik sejak lama karena pembeliannya dinilai tidak sesuai prosedur. Pengadaan helikopter itu telah tertuang dalam Rencana Strategis TNI AU tahap II 2015-2019.
Sesuai renstra saat itu, TNI AU mengajukan kebutuhan delapan helikopter, dua untuk VVIP presiden dan enam untuk angkut berat. Presiden Joko Widodo sudah menyatakan bahwa pembelian helikopter itu tersebut dibatalkan, namun tetap saja dibeli.