Laporan wartawan Tribunnews, Theresia Felisiani
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sjamsul Nursalim dan istri, Itji Nursalim. mangkir dari pemeriksaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam status sebagai saksi kasus korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (29/5/2017) kemarin.
Keduanya sedianya diperiksa untuk dimintai keterangan tentang penerbitan SKL BLBI untuk Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) milik mereka, di masa lalu.
Karena mangkir, KPK melakukan penjadwalan ulang pemeriksaan terhadap keduanya. Juru Bicara KPK, Febri Diansyah berharap pasutri ini kooperatif dengan KPK untuk diambil keterangannya menyoal kronologi penerbitan surat keterangan lunas (SKL).
Temuan KPK menunjukkan negara diduga rugi hingga Rp 3,7 triliun karena penerbitan SKL BLBI untuk Bank BDNI yang diterbitkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang saat itu dikepalai Syafruddin Arsyad Temenggung.
Menurut KPK, kewajiban Sjamsul yang diserahkan ke BPPN seharusnya sebesar Rp 4,8 triliun.
Namun Sjamsul baru membayarnya lewat penyerahan proyek tambak Dipesena di Lampung yang nilainya hanya Rp 1,1 triliun. Dengan demikian Sjamsul masih memiliki kewajiban Rp 3,7 triliun.
Disinggung apakah mungkin kekurangan Rp 3,7 triliun itu malah dialirkan Sjamsul ke perusahaannya? Menjawab itu, Juru Bicara KPK, Febri Diansyah menyatakan penyidikan belum mengarah kesana terlebih Sjamsul belum diperiksa.
"Penyidikan kami belum ke arah sana. Kalau nanti kesimpulan ada aliran dana pada perusahaan obligor (Sjamsul) itu kami telusuri," terang Febri, Selasa (30/5/2017).
Sementara untuk pengembalian aset negara, menurut Febri, penyidik akan melakukan pemetaan aset-aset apa saja yang dimiliki oleh Sjamsul.
"Oleh karena itu kami butuh pemeriksaan Sjamsul Nursalim untuk bisa menjelaskan posisi kronologis penerbitan SKL," ungkap Febri.
Sementara itu, atas perbuatannya, tersangka Syafruddin Arsyad Temenggung disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999.
Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.