TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Sikap tegas pemerintah dipertanyakan mengingat lambatnya proses pembangunan smelter dari perusahaan yang sudah menikmati keistimewaan karena diperbolehkan mengekspor konsentrat dan mineral mentah ke luar negeri.
Di lain pihak, kebijakan merelaksasi ekspor justru mematikan perusahaan smelter yang tengah beroperasi.
Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies Marwan Batubara mengatakan, pemerintah masih saja memberi kemudahan kepada perusahaan yang selama ini hanya menikmati relaksasi ekspor tetapi terus menerus mengingkari janjinya membangun smelter.
Pemerintah terkesan mengikuti permainan perusahaan-perusahaan tersebut dengan terus memberikan kelonggaran ekspor dan memperpanjang masa waktu pembangunan smelter tanpa ada sanksi yang tegas.
“Harusnya pemerintah bersikap tegas agar amanat UU Minerba berjalan sukses. Konsistensi kebijakan menjadi hal penting untuk pelaku usaha di sektor pertambangan karena jika tidak konsisten maka iklim investasi akan tidak menarik,” ujar Marwan, akhir pekan lalu.
Hal senada juga diutarakan Pakar Hukum Pertambangan dari Universitas Tarumanegara Ahmad Redi.
Menurut Redi, hingga saat ini kebijakan hilirisasi masih jalan di tempat pasca 12 Jan 2017. Sejauh ini, pemerintah hanya fokus pada akrobasi pemberian izin ekspor pada perusahaan tertentu walaupun jelas ini kebijakan tersebut tidak sesuai secara hukum.
“Pemerintah harusnya sejak awal bersikap bahwa pihaknya hanya akan memberikan izin ekspor setelah smelter terbangun. Sejak 2009 sebenarnya sudah diberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan tertentu untuk membangun smelter, diperpanjang lagi hingga tiga tahun sejak 2014, tetapi hasilnya tetap nihil,” paparnya.
Redi menambahkan, masih ada harapan untuk berbenah sesuai dengan cita-cita ideal yang ada dalam UU Minerba.
Namun, pembenahan tersebut mesti dimulai dengan membatalkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri yang nyatanya memporakporandakan kebijakan hilirisasi.
Hal berikut yang dibutuhkan adalah peta jalan yang jelas dalam kebijakan hilirisasi serta sikap konsisten pemerintah.
Kegagalan implementasi program hilirisasi mineral selama ini dikarenakan ketidakkonsistenan pemerintah.
“Berapa banyak investor yang dirugikan karena ketidakjelasan ini? Baiknya memang tidak boleh ada izin ekspor mineral yang belum diolah dan dimurnikan sebelum ada Putusan Mahkamah Agung atas gugatan uji materiil regulasi yang membolehkan ekspor mineral mentah dan konsentrat. Larangan ekspor ini harusnya juga berlaku pada bauksit dan nikel kadar rendah,” katanya.
Sebelumnya, sekitar 11 perusahaan pengolahan dan pemurnian nikel yang dikabarkan berhenti operasi dan ribuan orang kehilangan pekerjaan karena harga nikel yang anjlok di pasar dunia.
Selain itu, ada 12 perusahaan smelter nikel yang merugi karena harga nikel yang terjun bebas.
Anjloknya harga nikel tersebut karena kebijakan relaksasi Pemerintah Indonesia yang memperbolehkan kembali adanya ekspor mineral mentah.
Wakil Ketua Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) Jonathan Handojo membenarkan, akibat dari kebijakan pelonggaran ekspor mineral beberapa perusahaan smelter akhirnya menghentikan kegiatan operasi produksi.
Meski ada sebagian yang jalan tetapi harus siap menanggung kerugian karena harga komoditi sedang turun.
“Ada beberapa perusahaan yang harus tetap mengoperasikan smelternya meski mereka mengetahui bakal rugi,” kata Jonathan.