TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Pelindo II menemukan indikasi kerugian negara dalam perpanjangan kontrak JICT mencapai USD 306 juta atau setara dengan Rp 4,08 triliun.
Indikasi kerugian tersebut baru berasal dari kekurangan pembayaran upfront fee oleh HPH.
Kerugian di atas menurut BPK terjadi akibat adanya penyimpangan-penyimpangan yang saling terkait, yang dilakukan dengan cara-cara yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.
Ketua Pansus Angket DPR RI Tentang Pelindo II, Rieke Diah Pitaloka meminta meminta BPK melanjutkan audit investigatif selanjutnya terkait Global Bond dan Proyek Kali Baru Pelindo II, sebagai bahan komprehensif pansus dalam memberikan laporan dan rekomendasi akhir.
Apalagi surat Edaran Mahkamah Agung No. 4/2016 (angka 6) bahwa instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksaan Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional.
"Sebagai Ketua Pansus, saya akan berkoordinasi dengan pimpinan lain dan anggota untuk menindaklanjuti LHP investigatif tersebut di dalam rapat internal pansus," katanya, Selasa (13/6/2017).
Namun demikian, Rieke meyakini bahwa LPH tahap pertama ini telah mengungkap adanya penyimpangan yang mengandung unsur Pidana dan harus ditindaklanjuti oleh pejabat penyidik dengan proses penyidikan.
Seperti diketahui, bahwa kontrak kerjasama JICT antara Pelindo II dan HPH seharusnya berakhir pada 2019 dan jika tidak diperpanjang, maka 100 persen saham JICT kembali menjadi milik Indonesia.
Kejanggalan terjadi akibat kontrak perpanjangan dipercepat pada tahun 2015.
BPK temukan penyimpangan di antaranya perpanjangan kerjasama tidak dimasukkan sebagai Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) dan Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP), tidak diinfirmasikan terbuka dalam laporan tahunan Pelindo II 2014.
Perjanjian ditandatangani tanpa ijin konsesi Menhub dan penunjukkan HPH oleh Pelindo II tanpa mekanisme yang seharusnya.
Perpanjangan ditandatangani Pelindo II dan HPH tanpa persetujuan RUPS, namun anehnya Menteri BUMN menganggap tidak ada masalah dengan mekanisme tersebut serta Deutsche Bank (DB) ditunjuk sebagai financial advisor.