Laporan Wartawwan Tribunnews.com, Nurmulia Rekso Purnomo
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terbitnya Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2017 yang mengantikan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (ormas), membuat pemerintah memiliki mekanisme lebih sederhana untuk melakukan pembubaran partai politik. Mekanisme yang tadinya di UU ormas diatur melalui proses persidangan, kini pencabutan pengesahan bisa dilakukan langsung oleh kementerian terkait.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Alghiffari Aqsa, menilai hal itu sebagai kemunduran demokrasi.
Pasalnya, di perppu itu hampir tidak ada celah bagi ormas untuk memberikan klarifikasi, atas penilaian buruk pemerintah.
"Dan ini mengancam demokrasi, karena adanya penghilangan pasal (proses) pengadilan itu, pemerintah sudah abuse (melakukan penyalahgunaan) dalam melaksanaana kewenangan," ujarnya.
Terobosan lain melalui Perppu tersebut jika dibandingkan UU Ormas yang ada adalah penambahan ancaman hukuman, bagi siapapun yang melakukan pelanggaran.
Hal itu diatur melalui penambahan pasal baru, yakni pasal 82A yang bunyinya:
"Setiap orang yang menjadi anggota dan/atau pengurus Ormas yang dengan sengaja dan secara langsung atau tidak langsung melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal- 59 ayat (3) huruf a dan huruf b, dan ayat (4) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun."
Pasal 59 ayat 3 huruf a berisi larangan bagi ormas untuk melakukan tindakan permusuhan terhadap gelongan tertentu, berdasarkan SARA. Sementara pada ayat 3 huruf b berisi larangan untuk tidak melakukan penyalahgunaan, penistaan atau penodaan terhadap agama.
Pasal 59 ayat 4 huruf a berisi larangan untuk menggunakan atribut dari organisasi atau kelompok yang sudah dilarang pemerintah. Pada huruf b diatur ormas dilarang melakukan kegiatan separatisme, dan pada huruf c ormas diatur untuk tidak boleh melakukan hal-hal yang bertentangan dengan Pancasila.
Alghiffari Aqsa menilai ketentuan tersebut cukup janggal. Pasalnya sebuah perppu terkait UU ormas, bisa memberikan ancaman kepada pelaku penistaan agama, dengan hukuman yang jauh lebih tinggi dari yang diatur di pasal 156 dan 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"DI KUHP saja ancamannya maksimal lima tahun penjara, ini di perppu diatur ancamannya bisa seumur hidup," ujarnya.
"Batasannya juga tidak jelas, mana yang penjara seumur hidup, dan mana yang penjara paling singkat lima tahun dan paling lama dua puluh tahun. Saya menduga pemerintah terburu-buru menyusun ini," katanya.
Koordinator Program Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani, saat dihubungi dalam kesempatan terpisah, menyebut hal lain yang perlu dikhawatirkan dari perppu tersebut antara lain penulisan frasa "atau paham lain."
Kalimat itu ditulis di lembar penjelasan tentang pasal 59 ayat 4 huruf c yang berbunyi:
"Yang dimaksud dengan "ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila' antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945."
"(frasa) dan yang lalinnya, yang lainnya itu siapa, indikatornya apa, ini bisa (menyasar) siapapun," ujarnya.