TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Pemerintah telah resmi menerbitkan Perppu No. 2 Tahun 2017 (Perppu Ormas) yang mengubah UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas).
Perppu ini diyakini sebagai tindak lanjut rencana pemerintah untuk membubarkan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dianggap memiliki asas dan kegiatan bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Pemerintah beralasan, UU Ormas belum secara komprehensif mengatur mekanisme pemberian sanksi yang efektif sehingga terjadi kekosongan hukum.
Terhadap sikap pemerintah tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) berpendapat bahwa alasan penerbitan Perppu Ormas memiliki kelemahan, baik dalam hal proses maupun substansi.
Rizky Argama, Peneliti PSHK menyebut, dari segi prosedural, penerbitan Perppu Ormas tidak memenuhi tiga prasyarat kondisi sebagaimana dinyatakan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 38/PUU-VII/2009.
Tiga prasyarat itu, jelasnya, yaitu adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU, adanya kekosongan hukum karena UU yang dibutuhkan belum ada atau tidak memadai, dan kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedur normal pembuatan UU.
Ketiga prasyarat itu tidak terpenuhi karena tidak adanya situasi kekosongan hukum terkait prosedur penjatuhan sanksi terhadap ormas.
UU Ormas dengan jelas telah mengatur mekanisme penjatuhan sanksi—termasuk pembubaran—terhadap ormas yang asas maupun kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
"Dari segi susbtansial, Perppu Ormas telah menghilangkan bagian penting dari jaminan kebebasan berserikat di Indonesia, yaitu proses pembubaran organisasi melalui pengadilan. Pasal 61 Perppu Ormas memungkinkan pemerintah secara sepihak mencabut status badan hukum ormas tanpa didahului proses pemeriksaan di pengadilan," kata Rizki dalam rilisnya yang diterima Tribunnews.com, Kamis (13/7/2017).
Padahal, proses itu penting untuk menjamin prinsip due process of law yang memberikan ruang kepada ormas untuk membela diri dan memberikan kesempatan bagi hakim untuk mendengar argumentasi para pihak berperkara secara adil. Mekanisme ini juga mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pemerintah dalam membubarkan ormas.
Perppu Ormas telah menempatkan posisi negara kembali berhadap-hadapan dengan organisasi masyarakat sipil, sama seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Pembubaran ormas tanpa melalui jalur pengadilan terakhir kali terjadi saat Pemerintah Orde Baru—melalui UU No. 8 Tahun 1985—membubarkan secara sepihak organisasi Pemuda Islam Indonesia (PII) dan Gerakan Pemuda Marhaen (GPM) pada 1987.
Lebih dari itu, ketentuan dalam Perppu Ormas memungkinkan penjatuhan sanksi pidana terhadap setiap orang yang menjadi pengurus atau anggota ormas apabila ormasnya melakukan pelanggaran. Ketentuan itu sangat problematik karena memungkinkan negara untuk menghukum orang bukan karena tindakan pidana yang dilakukan, melainkan karena status keanggotaan di dalam sebuah ormas. Situasi itu tentu berpotensi melanggar kebebasan berserikat warga negara yang telah dijamin oleh konstitusi.
Semangat untuk menjaga falsafah Pancasila dan UUD 1945 haruslah didukung oleh seluruh elemen masyarakat. Namun, pengaturan penjatuhan sanksi terhadap ormas dan adanya pemidanaan yang tidak proposional akan membangkitkan sifat represif negara.
Demi menghindari situasi yang kontraproduktif terhadap perkembangan demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia, PSHK mendorong DPR untuk menolak Perppu No. 2 Tahun 2017 dalam masa sidang berikutnya. Selain itu, tanpa perlu menunggu proses pembahasan Perppu Ormas di DPR, upaya kalangan masyarakat sipil untuk mengajukan permohonan pengujian Perppu Ormas ke Mahkamah Konstitusi juga harus terus didorong.