Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli Hukum Tata Negara, Andi Irmanputra Sidin menilai, Komisi Pemberanrasan Korupsi (KPK) bukan lembaga Pemerintah yang bisa dikenai hak angket oleh DPR.
Mengacu pada UU MD3, Andi Irmanputra Sidin menilai, kata Pemerintah dalam UU MD3 tidak bermakna fungsional melainkan bermakna institusiponal yang menjelaskan pemerintah yang berada dalam lingkup Presiden, Wakil Presiden, Menteri Negara, Panglima TNI , Kapolri, Jaksa Agung atau Pimpinan lembaga negara lainnya non kemeterian.
"KPK secara eksplisit tidak masuk didalamnya," jelasnya kepada Tribunnews.com, Kamis (13/7/2017).
Pasal ini pun menurutnya, tidak pernah berubah sejak dulu. Menurut UU Susduk dimana lokus objek dari angket adalam Pemerintah dalam arti institusi Presiden dan jajarannya.
"Oleh karenanya pasal soal angket tidak bisa ditasfirkan lain selain apa yang dimaksud oleh UU MD3 yaitu sebatas pemerintah," tegasnya.
Sebelumnya Yusril sebelumnya menilai, sesuai dengan hukum ketatanegaraan, DPR dapat menggunakan hak angket terhadap KPK.
Sebab, KPK dibentuk melalui undang-undang.
Yusril menyampaikan hal itu dalam rapat bersama Pansus Hak Angket KPK di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (10/7/2017).
Dalam UUD 1945, lanjut Yusril, disebutkan bahwa DPR mempunyai beberapa tugas dan kewenangan, yaitu di bidang legislasi, pengawasan dan anggaran.
Dalam rangka melaksanakan kewenangan di bidang pengawasan lah DPR dibekali sejumlah hak, termasuk angket.
Ia menambahkan, pada Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD disebutkan pula bahwa DPR dapat melakukan angket terhadap pelaksanaan UU dan terhadap kebijakan Pemerintah.
Mantan Menteri Kehakiman dan HAM era pemerintahan Abdurrahman Wahid itu menambahkan, angket dilakukan terhadap kebijakan Pemerintah (eksekutif).
Dalam sistem ketatanegaraan, terdapat tiga organ, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif. KPK bukan termasuk kategori yudikatif, karena bukan merupakan badan pengadilan yang memeriksa dan mengadili.
KPK juga bukan termasuk badan legislatif karena tak memproduksi peraturan Perundang-undangan. Kecuali peraturan internal yang dibuat khusus untuk KPK atau membuat peraturan karena perintah peraturan perundangan yang lebih tinggi.
"Eksekutif, apakah masuk? Iya," ujar Yusril.
Alasannya, amanat dari UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi saat itu menyebutkan dalam tempo dua tahun sudah harus terbentuk komisi pemberantasan korupsi yang bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara-perkara korupsi.
Di samping itu, dalam proses pembentukannya, sempat ada kekhawatiran tumpang tindih antara KPK dengan lembaga lain, yakni Kepolisian dan Kejaksaan. Kekhawatiran tersebut diungkapkan pertama kali oleh Fraksi TNI/Polri.