Laporan Wartawan Tribunnews.com, Rizal Bomantama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fraksi DPR RI tak bisa mengajukan uji materil atas undang-undang yang mereka sahkan, termasuk Undang-Undang Pemilu 2017.
Juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, menerangkan fraksi atau partai tak memiliki legal standing untuk mengajukan uji materil ke MK karena mereka pembentuk undang-undang tersebut.
"Dulu MK pernah memutuskan partai yang terlibat dalam pembentukan undang-undang tidak punya legal standing saat mengajukan pengujian ke MK. Mereka bagian dari pembentuk undang-undang tersebut," terang Fajar di MK, Senin (24/7/2017).
"Pertarungan di DPR adalah pertarungan antarkepentingan politik. Ketika kepentingan politik itu kalah tidak serta merta pindah ke ranah yudikatif," tegas dia.
MK mempersilakan pihak yang ingin mengajukan keberatan atas terbentuknya suatu undang-undang harus di luar lingkaran dari pembentuk undang-undang tersebut.
Pihak di luar pembentuk UU itu menurut Fajar bisa juga partai yang tidak memiliki kursi di DPR RI, dengan kata lain, tidak terlibat langsung dalam pembentukan undang-undang tersebut.
"Sejauh mereka bisa buktikan bahwa partai-partai di luar pembentuk undang-undang mendapatkan kerugian konstitusional dengan terbentuknya undang-undang tersebut. Dan yang jelas pengujian tetap harus di MK," terang Fajar.
Siang tadi Habiburokhman mewakili Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) sepakat meminta permohonan uji materiil terhadap UU Pemilu 2017, terutama Pasal 222 yang mengatur ambang batas pemilihan presiden.
Sebagai informasi, Habiburokhman juga tercatat sebagai Kepala Bidang Advokasi DPP Partai Gerindra. Ia membantah ACTA melayakangkan uji materil atas arahan Gerindra.
Gerindra, bersama Demokrat, PAN dan PKS, menolak pengesahan Undang-Undang Pemilu hasil rapat paripurna di DPR pada Jumat (21/7/2017).
Keempat partai ini menolak usulan pemerintah yang menetapkan ambang batas pemilihan presiden 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya.