TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Niko Panji Tirtayasa alias Miko, saksi kasus suap perkara sengketa pilkada untuk terpidana mantan Ketua MK Akil Mochtar, menceritakan safe house atau rumah aman dari KPK yang disebutnya sebagai rumah sekap saat memberikan keterangan dalam rapat Pansus Hak Angket KPK di Gedung DPR, Jakarta,
Niko yang merupakan keponakan Muhtar Efendy, salah seorang pihak berperkara dalam kasus Akil Mochtar itu juga menceritakan kepada anggota Pansus tentang adanya pergantian identitasnya, pembagian harta sitaan hingga kompensansi liburan mewah ke Bali, Lombok dan Raja Empat, atas kesaksiannya di KPK.
Yulianis, mantan anak buah Muhammad Nazaruddin selaku saksi kunci sejumlah kasus dugaan korupsi anggaran kementerian/lembaga bermodus "bancakan" yang melibatkan sejumlah penyelenggara negara, mengaku tidak pernah diberikan safe house dari KPK meski kesaksiannya berpotensi pada keselamatannya.
Yulianis mengaku dirinya mendapatkan status whistle blower selama tiga tahun sejak kasus dugaan korupsi Wisma Atlet ditangani KPK pada tahun 2011. Namun saat itu ia tidak pernah mendapat tempat atau rumah perlindungan dari KPK.
Oleh karena itu, ia menilai perlakuan KPK kepada Niko selaku saksi adalah sangat diskriminatif jika pengakuannya di Pansus DPR adalah benar adanya.
"Nggak. Makanya saya bingung Niko dibayarin KPK dan dapat tempat tinggal. Saya mah nggak," ujar Yulianis saat ditemui Tribun di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (9/8/2017).
Yulianis hadir di Pengadilan Tipikor Jakarta untuk memberikan keterangan sebagai saksi untuk perkara korupsi proyek pembangunan rumah sakit Universitas Udayana, dengan terdakwa mantan Direktur Utama PT Duta Graha Indah (PT DGI), Dudung Purwadi.
Yulianis merupakan mantan Wakil Direktur Keuangan Permai Group milik mantan Bendahara Umum Partai Demokarat, Muhammad Nazaruddin.
Baca: Kegiatan Ahok di Rutan Mako Brimob, Pengacara: Kalau Disuruh Nyangkul, ya Nyangkul
Dia menjadi saksi kunci untuk sejumlah kasus dugaan korupsi anggaran proyek yang melibatkan Nazarudin hingga mantan Ketua Umun Partai Demokrat, Anas Urbaningrum.
Yulianis mengaku selama tiga tahun menjadi whistle blower hanya mendapat pengawalan dari dua petugas KPK.
Ia pun mengakui kesal jika benar pihak KPK meng-entertain Niko selaku saksi.
"Saya enggak pernah dapat tempat tinggal dari KPK. Saya sampai bensin mobil buat bolak-bakik diperiksa KPK itu bayar sendiri. Dan saya juga enggak pernah mau dibayarin," katanya.
"Saya pergi liburan sama keluarga ke Bali aja juga bayar sendiri. Pengawal yang ditugasin ikut sama saya, saya yang bayarin," imbuhnya.
Selain Yulianis, mantan anak buah Nazaruddin lainnya, Mindo Rosalina Manulang dan Minarsih, juga turut hadir sebagai saksi untuk dalam sidang terdakwa Dudung Irawadi ini.
Hidup Berpindah-pindah 14 Rumah
Yulianis mengakui hidupnya tidak tenang sejak menjadi saksi dalam kasus dugaan korupsi proyek Wisma Atlet pada tahun 2011 dan berlanjut menjadi whistle blower selama tiga tahun untuk sejumlah dugaan korupsi proyek Muhammad Nazaruddin lainnya.
"Iya saya pernah whistle blower. Tapi, enggak ada suratnya, cuma Novel Baswedan (penyidik KPK) saja yang ngomong secara lisan di KPK waktu awal-awal kasus, kasus Wisma Atlet tahun 2011. Novel bilang, 'Ibu bukan JC (Justice Collaborator), ibu itu WB (whistle blower). Saya tanya bedanya apa? Katanya, kalau JC berarti sudah terpidana, kalau WB tidak, kan ibu enggak terpidana," ujarnya.
Pemberian status whistle blower dari Novel itu muncul setelah Yulianis menyampaikan dirinya selaku operator proyek-proyek Nazaruddin di Permai Group adalah layak ditersangkakan dan ditahan.
"Waktu awalnya saya bilang sama Pak Novel, 'Yang perlu dipenjarain tuh Nazar, Neneng, Hasyim, Nasir, Rosa, Minarsih dan sama saya'. Setelah itu disampaikan whistle blower," jelas Yulianis.
Seingat Yulianis, setidaknya ia, suami dan putranya telah berpindah-pindah 14 rumah hingga hotel lantaran khawatir akan keselamatannya dan keluarga. Belasan rumah itu disewanya atas biaya sendiri.
"Saya sudah pindah-pindah 14 rumah," ujar Yulianis.
Ia mengaku baru sekali tinggal di kamar Hotel Ritz Carlton Jakarta selama satu bulan karena mendapat voucher menginap dari sang paman.
Ia mengungkapkan, dirinya terpaksa berpindah-pindah tempat tinggal karena adanya teror secara tidak langsung dari mantan bosnya, Muhamad Nazaruddin, kendati saat itu mendekam di balik penjara.
"Kalau awal-awal saya dapat teror dari Nazar. Saya dicari kemana-mana. Meski dia di penjara, kan ada kakak adiknya, ada Hasyim ada Nasir," ungkapnya.
"Sampai-sampai dibuat sayembara di kantor. Sayembaranya, cari Yulianis, kalau sampai dapat dan bisa mendatangkan saya ke Nasir atau Hasyim nanti dikasih Rp 1 miliar. Saya tahu itu dari teman-teman kantor ngomong ke saya," imbuhnya.
Dikawal Dua Polisi
Dua pria berbadan tegap dengan mengenakan kemeja warna putih dan batik bercorak hijau tampak duduk di belakang kursi Yulianis saat awak Tribun mewawancarainya.
Kedua pria itu juga tampak duduk dan terjaga di barisan kursi pengunjung sidang saat Yulianis memberikan kesaksian untuk terdakwa Dudung di ruang persidangan.
Yulianis mengatakan, dua pria itu adalah anggota Bareskrim Polri. Keduanya ditugaskan untuk mengawal seluruh aktivitasnya.
Yulianis mengatakan sebenarnya dirinya sudah memasrahkan hidupnya kepada Allah SWT meski keselamatannya terancam sejak menjadi saksi kunci sejumlah kasus dugaan korupsi anggaran proyek kementerian/lembaga yang menyeret sejumlah pejabat negara dan pihak swasta ke tahanan KPK.
Hidupnya sempat tenang setelah bisa kembali bekerja pada tiga tahun lalu hingga bisa membiayai kebutuhan sehari-hari.
Namun, kini ia tahu ada tidaknya potensi gangguan terhadap dirinya setelah ia memberikan keterangan kepada Pansus Hak Angket KPK di DPR pada beberapa waktu lalu.
Di antaranya saat itu ia menyebutkan permainan proyek Nazaruddin dan dugaan adanya aliaran dana sebesar Rp 1 miliar kepada mantan pimpinan KPK, Adnan Pandu Praja.
"Kalau sekarang gara-gara Pansus kemarin, saya nggak tahu. Saya sih sudah lillahi taala, saya serahkan saja kepada Allah," ucapnya.
Meski belum merasakan mendapat ancaman, kata Yulianis, pihak Pansus DPR 'memaksanya' untuk menerima jasa pengawalan dari kepolisian.
"Sekarang saya dapat kawalan dari orang Bareskrim. Itu dari Pansus DPR. Itu saya dipaksa dikawal dua orang setiap hari, semua kegiatan, 24 jam melekat. Itu sejak saya selesai beri keterangan di Pansus saya langsung dikasih pengawalan sampai sekarang," ungkapnya.
Ia menceritakan, Wakil Kepala Bareskrim Polri Irjen Pol Antan Novambar menemuinya tak lama setelah pihak Pansus DPR menyampaikan adanya pengawalan kepolisian.
Orang nomor dua Bareskrim Polri menyampaikan, mau atau tidak dia harus mendapat pengawalan. Bahkan, Antam menawarkan pengawalan petugas secara terbuka atau tertutup dari anggotanya.
Akhirnya Yulianis tidak mampu menolak pemberian pengawalan itu.
"Ironis juga sih, sekarang dikawal sama polisi, dulu saya dikawal sampai tiga tahun sama orang KPK gara-gara whistle blower," ujar Yulianis.
"Dulu setelah tiga tahun, akhirnya saya minta ke KPK untuk berhenti pengawalan karena saya capek diikuti terus. Dikawal itu enggak enak, enggak enak banget. Mereka cuma enggak ikuti saya pas ke kamar mandi dan tidur," kata Yulianis diikuti tawa kecilnya. (coz)