TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Ketua Pansus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Agun Gunandjar Sudarsa menyebutkan, gaya penyidik KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) hanya untuk mengkriminalisasi lembaga penegak hukum.
Misalnya, kasus mantan Hakim Pengadilan Jakarta Pusat, Syarifuddin Umar yang mengaku menjadi korban konspirasi jahat penyidik KPK terkait suap gugatan kepailitan yang penuh rekayasa.
Menurutnya, KPK terus mengulang drama dan pembohongan publik dalam merekayasa cerita soal sadapan.
Baca: 1.500 Pekerja Wanita Jalani Pemeriksaan Leher Rahim Gratis
Untuk itu Agun mengusulkan supaya OTT KPK dilakukan lewat mekanisme yang benar, tidak seperti kasus yang dialami Syarifudin. Yakni, OTT itu dilakukan atas bahan-bahan yang orang tidak mengerti tentang penyadapan.
"Kata-kata pengkalimatan yang diperoleh dari sebuah handphone, rekaman itu bisa diperdengarkan seolah-olah hasil penyadapan. Padahal sadapan itu kan disadap, ini engga dari HP," kata Agun saat menggelar rapat bersama Syarifuddin di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (21/8/2017) malam.
Politikus Partai Golkar ini menjelaskan, dalam kasus Syarifuddin, tidak ada istilah sadap. Pasalnya HP miliknya disita, dan rekaman diambil. Sehingga ini dikategorikan kriminalisasi.
"Jadi OTT ini patut diduga bentuk kriminalisasi terhadap para penegak hukum," ujarnya.
Terkait hal tersebut, anggota Komisi III DPR ini ingin mempelajari dulu soal OTT yang terjadi terhadap panitera di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tadi siang usai KPK menjalani eksekusi pembayaran uang terhadap mantan Hakim Syarifudin Umar.
"Saya pelajari dulu deh, baru membaca beritanya. Yang pasti menarik buat pansus, kami akan dalami, kami akan kaji. OTT itu suatu peristiwa yang pelaku dan alat bukti pada waktu yang sama, di tempat yang sama, itu OTT. Tapi yang sering terjadi kan, banyak orang di lokasi berbeda ditangkap juga," kata Agun.
Menurutnya, melihat strategi kinerja KPK ini melalui sebuah pembunuhan karakter, sebuah demoralisasi karena lebih banyak dikait-kaitkan dengan wanita. Sebab, hampir semua kasus dikaitkan opini publik lebih dulu.
"Nah itu kalau seolah-olah menjadi lembaga terpercaya seolah-olah seperti dewa, sehingga masyarakat mata publik itu tertutup. Seolah-olah yang dikerjakan KPK itu benar adanya, padahal menurut saya sampah," kata Agun.