TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komandan Puspom TNI Mayjen Dodik Widjanarko tampak mendatangi Landasan Udara (Lanud) Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, guna melihat helikopter yang diduga terlibat kasus korupsi dalam pengadaannya, Kamis (24/8/2017).
Ia datang setelah para awak media selesai melihat helikopter Agusta Westland (AW) - 101 di hanggar Skadron Teknik 021, Lanud Halim Perdana Kusuma, sekira pukul 11.45 WIB.
Dodik mengaku belum pernah melihat helikopter yang pengadaannya ditolak oleh Presiden RI Joko Widodo itu.
"Saya belum lihat sama sekali (helikopter). Saya baru (mau) lihat hari ini. Ini mau kesana," ujar Dodik saat ditemui di depan Gedung Suma 3, Lanud Halim Perdana Kusuma.
Lantaran belum melihat, ia juga mengungkapkan belum mengetahui fungsi-fungsi dari heli itu.
Disinggung mengenai sejak kapan heli yang dibeli melalui proses lelang khusus itu berada di Lanud Halim Perdana Kusuma, Dodik menjawab dengan kurang yakin.
"Kalau nggak salah, dari keterangan media, bulan Januari. Saya baru mau lihat sekarang, sekali lagi berikan kesempatan untuk melakukan yang terbaik. Dalam arti, karena ini proses hukum ya jadi dalam proses hukum," kata Dodik.
Pantauan Tribunnews.com, untuk menuju hanggar Skadron Teknik 021 dimana Helikopter AW-101 berada, harus menggunakan bus milik Lanud Halim Perdana Kusuma.
Diberitakan, pada April 2016, TNI AU mengadakan satu unit helikopter angkut AW-101 dengan menggunakan metode pemilihan khusus atau proses lelang yang harus diikuti oleh dua perusahaan peserta lelang.
Baca: DPR: Fungsi Pengawasan Harus Ditingkatkan
Irfan Kurnia Saleh selaku Presdir PT Diratama Jaya Mandiri dan diduga pengendali PT Karya Cipta Gemilang mengikutsertakan dua perusahaan miliknya tersebut dalam proses lelang itu.
Padahal, sebelum proses lelang berlangsung, Irfan sudah menandatangani kontrak dengan AW sebagai produsen helikopter angkut dengan nilai kontrak USD 39,3 juta atau sekitar Rp 514 miliar.
Sementara saat ditunjuk sebagai pemenang lelang pada Juli 2016, Irfan mewakili PT Diratama Jaya Mandiri menandatangani kontrak dengan TNI AU senilai Rp 738 miliar. Akibatnya, keuangan negara diduga dirugikan sekitar Rp 224 miliar.
Atas tindak pidana yang diduga dilakukannya, Irfan disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.