TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menyoroti sikap artai Islam Damai Aman (Idaman) terkait pemberian kuasa kepada Ramdansyah pada uji materi atau judicial review Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Hal itu disebabkan Ramdansyah menjabat sekretaris jenderal di DPP Partai Idaman.
Ketua Panel Hakim, Anwar Usman, mempertanyakan keputusan partai besutan Rhoma Irama tersebut karena sebagai pejabat struktural bisa hadir langsung di persidangan.
"Kemudian, mengenai Pak Sekjennya ini, ya. Kalau berperkara di MK kan, bisa hadir sendiri. Jadi, tidak perlu memberi kuasa kepada diri sendiri atau orang lain," kata Anwar Usman dalam persidangan sebagaimana yang dikutip Tribunnews.com dari risalah sidang MK, Jakarta, Jumat (25/8/2017).
Hal senada juga diungkapkan anggota hakim panel Aswanto.
Baca: Rekanan Beberkan Gaya Hidup Bos First Travel, ke Arab Saudi Selalu Disiapkan Hotel dan Mobil Mewah
Menurut dia, perlu dipikirkan kembali apakah lazim seorang pemberi kuasa memberikan kuasa kepada dirinya.
Aswanto juga mengomentari mengenai penulisan nama Ramdansyah.
Jika dalam jabatan sekretaris jenderal nama Ramdansyah tidak disertakan gelar, maka dalam daftar penerima kuasa gelar SH dilekatkan.
"Saya kira ini ada sengaja mungkin dibuat penyelundupan. Ini jangan-jangan sengaja diselundupkan S.H.-nya, gitu. Jadi, kelihatan di atas, tidak tahu hukum. Setelah tahu hukum, dikasih kuasa," kata Aswanto.
Walau demikian, Aswanto menegaskan cara tersebut tidak salah. Hanya saja, kata dia, perlu dikaji lagi apakah cara tersebut sesuai dengan kelaziman.
"Sekretaris selain sebagai Prinsipal, juga sebagai kuasanya ketua, gitu. Ya, jangan menguasakan kepada dirinya sendiri, gitu kan," kata dia.
Sekadar informasi, Partai Idaman mengujikan Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) serta Pasal 222 Undang-Undang Pemilu terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal-pasal tersebut salah satunya mengatur mengenai presidential threshold.