TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Ekonom Dradjad H. Wibowo tidak melihat adanya kemajuan apapun, apalagi yang signifikan, dalam kesepakatan perundingan antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia (PTFI), pada Minggu (27/8/2017).
Mengapa demikian? Dradjad menjelaskan, terkait Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Sejak masih dipimpin oleh Presiden Direktur Maroef Sjamsoeddin, berkali-kali PTFI mengatakan sepakat menggunakan IUPK.
"Hal tersebut bahkan dinyatakan Maroef secara terbuka, misalkan pada 10 Juni 2015. Silakan di-google berbagai berita seusai Maroef bertemu Men ESDM Sudirman Said," tegas Dradjad yang juga politisi senior Partai Amanat Nasional (PAN) ini kepada Tribunnews.com, Selasa (29/8/2017).
Baca: Ketua Fraksi PKS: Pembantaian Muslim Rohingya Tidak Bisa Ditolelir
Juga masalah divestasi 51 persen sahamnya, pembangunan smelter dan penerimaan negara, Dradjad menilai, kesepakatan yang dihasilkan masih bersifat normatif. Bahkan menurutnya, sejak dulu PTFI sepakat melakukan divestasi.
Maroef sudah menyampaikan tahapan dan waktu divestasi hingga 30%. Selanjutnya dibahas lagi dengan tim pemerintah. "Kesepakatan 27 Agustus 2017 malah lebih sumir dari yang pernah disebut Maroef," katanya.
Pasalnya, semua tahapan dan waktu divestasi akan dibahas lagi. Artinya, mulai lagi dari angka dasar saham pemerintah 9,36%. Tentang pembangunan smelter, imbuhnya, sejak dulu PTFI juga sudah setuju.
Baca: Cerita Marjono Selama 14 Tahun Jaga Museum Perjoangan Bogor
"Jika tenggat waktunya disepakati Oktober 2022, berarti tidak ada kemajuan apapun dalam tenggat waktu," tegasnya.
Lebih lanjut terkait masalah penerimaan negara, frasa "secara agregat lebih besar dari penerimaan dalam Kontrak Karya" masih sangat umum. "Jika PTFI mengali mineral lebih banyak, dan setahu saya memang demikian, tentu penerimaan negara agregatnya juga lebih besar," jelasnya.
Artinya, kata Dradjad, frasa tersebut tidak otomatis berarti pemerintah mendapatkan persentase yang lebih besar dari saat Kontrak Karya. Malah menurutnya, hal itu bisa saja jatuhnya nanti lebih kecil, asal agregatnya lebih besar. Perlu diingat, kata dia, dalam negosiasi tahun 2015 terdapat 6 butir masalah yang dibahas.
Ada empat poin yang sudah disepakati, yaitu wilayah operasi, peningkatan komponen lokal, divestasi dan pembangunan smelter. Kemudian dua poin yang belum disepakati, yaitu masalah penerimaan negara dan status hukum kelanjutan operasi. "Jadi, tidak ada kemajuan dari posisi 2015," ucapnya.
"Bahkan istilah "agregat" dalam penerimaan negara bisa menjadi pisau bermata dua. Ini karena, bagian pemerintah tidak otomatis lebih baik dari rejim Kontrak Karya," tegasnya.