Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDIP Evita Nursanty menilai, pasal 28 terkait ujaran kebencian dan berita hoax di UU No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan UU No 11 tahun 2008 tentang ITE tidak perlu direvisi.
Menurutnya, aturan dan penegakan hukum yang tegas memang sangat dibutuhkan saat ini demi keselamatan bangsa ini dari perpecahan.
“Tidak perlu ada revisi di pasal 28, sudah tepat itu. Kita ingin menjaga bangsa dan negara ini tetap kondusif dari upaya-upaya berita bohong dan ujaran kebencian bernuansa SARA," kata Evita melalui pernyatannya, Rabu (30/8/2017).
Evita menyatakan itu menanggapi keinginan sejumlah LSM agar DPR merevisi UU ITE dengan dalih aturan soal ujaran kebencian multitafsir dan bisa dipakai untuk menjatuhkan lawan politik, khususnya saat digelarnya pilkada serentak maupun pemilu.
Dia menilai, permintaan revisi itu tidak logis karena UU ITE belum sampai setahun sejak direvisi akhir tahun lalu.
Selain itu juga karena saat ini melihat maraknya ujaran kebencian dan berita hoax yang sudah mengancam keutuhan bangsa sehingga revisi pada pasal penting itu akan membuat lebih runyam lagi permasalahan.
"Mereka minta agar UU ITE direvisi kembali menghadapi tahun politik seperti pilkada. Logikanya justru terbalik, kita justru ingin agar kontestasi politik seperti pilkada jangan jadi alat untuk menghancurkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan bangsa. Kita kok malah ingin mempreteli yang sudah baik demi tujuan politik kekuasan?" tanya Evita.
Evita mengatakan, kepentingan pasal ujaran kebencian bernuansa SARA dan hoax itu, Siapapun dia, dari parpol manapun, atau calon kepala daerah manapun, tim sukses bukan
soal jatuh-menjatuhkan lawan politik tapi ini soal komitmen kita sebagai bangsa manapun kalau dia membuat berita bohong, mengadu-domba dengan isu SARA itu harus ditindak.
"Ingat bahwa kepala daerah atau presiden atau anggota DPR bisa datang silih berganti tapi negara ini, bangsa ini harus utuh," tegasnya.
Evita menegaskan Pasal 28 UU ITE bukan pasal karet. Dia mengingatkan, saat pembahaaan revisi UU ITE tahun lalu di DPR semua fraksi sepakat untuk tidak mengubah pasal 28 ini kecuali perubahan di pasal 27 yakni terkait pencemaran nama baik dimana kemudian hukumannya diubah dari 6 tahun menjadi 4 tahun.
"Sebaliknya untuk pasal 28 tidak ada pengurangan hukuman yakni 6 tahun dan denda Rp1 miliar. Ini bentuk kesadaran DPR sebagai negarawan bahwa ujaran kebencian itu sangat mematikan bagi Indonesia.Aturan tegas ini perlu diambil agar masyarakat dan negara ini tertib, jika semua orang bisa saling menghujat dengan menggunakan SARA, negara ini akan kacau dan runtuh bila dibiarkan," paparnya.
Evita mencurigai pihak-pihak yang meminta revisi pasal-pasal terkait berita hoax dan
ujaran kebencian ini agar mereka bisa leluasa menghasut atau membuat situasi tidak kondusif.
Kata dia, tujuan berikutnya adalah persatuan dan kesatuan bangsa, hingga mendelegitimasi pemerintah yang seakan tidak bisa memelihara keamanan.
Secara khusus, Evita juga meminta agar dalam menghadapi pilkada 2018 maupun pemilu 2019, KPU dan Bawaslu harus tegas, dan tidak membiarkan pilkada jadi ajang keretakan bangsa.
"Jika ada tim sukses calon kepala daerah menggunakan fitnah dan ujaran kebencian untuk memenangi kontes maka harus didiskualifikasi dan juga dihukum," ucapnya.
Evita sendiri menyayangkan sosialisasi mengenai UU ITE ini belum dilakukan secara
optimal sehingga masih banyak pihak yang salah paham, sehingga dia meminta kepada Kemenkominfo maupun institusi terkait lainnya untuk menggencarkan sosialisasi ini, termasuk kampanye media sehat dan bijak menggunakan media.