"Waktu itu ada judicial review dan judicial review itu mengatakan tidak menghilangkan kewenangan penyadapan, tapi menegaskan pada pemerintah dan DPR untuk membuat UU tentang penyadapan. Tapi saat ini belum ada UU itu sehingga KPK tetap berjalan," jawab Syarif.
Pada kesempatan lain, Benny K Harman menyatakan, pihaknya banyak informasi bahwa data tentang dugaan korupsi yang diterima di bagian Pengaduan Masyarakat (Dumas), digunakan untuk memeras pejabat di daerah.
"Bagaimana KPK menjaga akuntabilitas di Pengaduan Masyarakat KPK karena berkaitan dengan dokumen pengaduan yang disampaikan masyarakat," tanya Benny.
Ia menambahkan, ada tudingan bahwa KPK tebang pilih memproses aduan. "Dari 7.000 laporan yang masuk, mengapa hanya sekian yang diproses?" kata Benny.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang yang menjawab pertanyaan tersebut menjelaskan, pihaknya tidak bisa langsung memproses laporan masyarakat. KPK harus melakukan penelitian dan pengumpulan keterangan.
Setelah itu, KPK melakukan gelar perkara untuk menentukan apakah kasus itu layak naik ke tahap penyelidikan. Gelar perkara melibatkan Direktur Pengaduan Masyarakat, penyelidik, deputi, dan para pimpinan KPK.
"Dari 7.000 kasus ke 3.000 tidak gampang. Seolah-olah ada framing-framing yang seolah-olah pilih kasih," kata Saut dalam nada tinggi.
Namun, Benny tidak puas atas jawaban Saut karena dinilai tidak sesuai pertanyaannya. Benny juga meminta Saut menerangkan kembali tapi tidak dalam nada tinggi. "Gini... gini... jangan emosi," kata Benny.
"Orang Batak memang begini. Saya tadi udah bilang (terkait Dumas) begitu, tapi bapaknya nggak denger," kata Saut.
Setelah itu, Benny menyebut bahwa pimpinan KPK sebenarnya tahu banyak soal laporan gadungan menggunakan data Dumas. Menurutnya, bagian Dumas di KPK bukan kumpulan 'malaikat' karena ada oknum yang menjual dokumen untuk kepentingan tertentu sehingga institusi itu dituntut meningkatkan pengawasan.
"Poin kita sudah dapat bahwa Dumas bukan kumpulan 'malaikat' karena ada 'setan' yang menjual dokumen," kata Benny. (fap/aji)