TRIBUNNEWS.COM -- Pembunuhan karakter adalah salah satu manuver dalam dunia politik. Dalam pembunuhan karakter terdapat metode yang disebut demonisasi alias pengiblisan.
Jadi, siapa pun orangnya yang terlibat, apalagi dengan sadar menempuh karier, dalam dunia politik praktis maupun berpolitik di dunia non-partai, di samping berpeluang menerima kemuliaan, tidak kurang-kurangnya mesti siap mengalami pengiblisan, selama masih hidup maupun sesudah mati.
Seperti Soekarno maupun Soeharto, Aidit adalah juga sebuah nama yang dalam gelombang sejarah sempat terlambung sebelum terempas sampai tiba saat sejarah mengadilkannya, dengan kaidah ilmu sejarah.
Pada masa orde baru, setiap bulan September, tepatnya tanggal 30, diputar film Pengkhianatan G30S sebagai bagian dari proyek politik semacam itu.
Setelah Reformasi 1998, film itu menghilang dari media televisi, dan informasi baru tentang masa lalu yang pahit tersebut muncul di mana-mana, termasuk tentang sosok Aidit, Ketua Partai Komunis Indonesia yang naik ke panggung politik dalam usia yang masih sangat muda.
Kepada Intisari, Amarzan Loebis yang pernah menjadi redaktur Harian Rakjat dan mengenal Aidit berkisah, bahwa kesuksesan sebagai Ketua Partai Komunis Indonesia maupun sebagai menteri sejak umur 30-an, telah membentuk sikap dan kepribadiannya pula.
”Aidit adalah sosok, yang ketika pertama kali melihatnya, kita tidak ingin menjadi dekat,” katanya. Disebutkan bahwa tuntutan atas kewibawaan sebagai pemimpin partai komunis yang tergolong besar, dibandingkan dengan partai-partai komunis lain di dunia, telah membuat Aidit seperti merasa harus menjaga jarak, dengan siapa pun, ”Ini tidak terjadi dengan pemimpin PKI lain seperti Njoto.”
Dalam pergaulan sehari-hari, katanya lagi, Aidit selalu memperlihatkan sikap bahwa dirinya harus didengar, harus dituruti, dan harus dipercaya.
Amarzan yang menginjak Jakarta tahun 1963 dari Medan, memenangkan sebuah lomba puisi dalam rangka peringatan Karl Marx, dua tahun kemudian pada usia 24, ”Hadiahnya diserahkan sendiri oleh Aidit.” Sejak itu, karena Amarzan menjadi redaktur Harian Rakjat, mereka saling mengenal, sehingga Amarzan mempunyai catatan tertentu tentang Aidit, seperti cerita berikut ini.
”Waktu itu saya menjadi redaktur edisi Minggu dari Harian Rakjat, yang antara lain mengurusi bagian sastra. Aidit mengirimkan sekitar lima atau enam sajak, yang tidak saya muat.
Pada Sabtu malam, sebelum naik cetak, Aidit menelepon saya di kantor. ’Sajak-sajak saya dimuat ’kan?’ Aidit bertanya. ’Tidak, Bung,’ jawab saya. ’Kenapa tidak?’ Aidit bertanya lagi. Karena masa itu suara percakapan di telepon belum sejernih sekarang, saya katakan kepadanya, ‘Kalau kita bisa bertemu, akan saya jelaskan alasannya. Setelah itu telepon dibanting.”
Nah, apakah terbaca sesuatu tentang karakter Aidit dari peristiwa ini?
Amarzan berkisah, setelah menutup telepon ia kembali bekerja. Ternyata telepon berdering lagi. Kali ini terdengar suara Njoto.
Tentu ia telah dikontak Aidit. Maka Amarzan menegaskan kepada Njoto, bahwa sajak-sajak Aidit itu, jika dibaca publik, bukan hanya akan merendahkan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), tetapi juga merendahkan puisi itu sendiri.