TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kamis, (21/9/2017) disudut Jalan Lembang No.58 terlihat sebuah patung berdiri gagah seorang jenderal.
Dibawah patung tersebut, tampak sebuah tulisan tulisan Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Jenderal TNI Ahmad Yani.
Memang tempat ini adalah tempat tinggal pribadi dari Jenderal Ahmad Yani beserta keluarga.
Dirumah ini pula menjadi saksi bisu peristiwa berdarah dan penembakan sang Jenderal Ahmad Yani pada 1 Oktober 1965.
Mulanya, Awak Tribunnews memasuki rumah yang kini telah menjadi Museum dibawah naungan naungan Dinas Sejarah Angkatan Darat (Disjarhad).
Untuk masuk kedalam museum, pengunjung harus mencopot alas kaki terlebih dahulu. Melalui pintu samping, Tribunnews mencoba masuk dan langsung melihat berbagai foto semasa Jenderal Ahmad Yani masih hidup.
Selain foto-foto tersebut, terdapat pula foto-foto agedan dalam cuplikan film “Pengkhianatan G30S/PKI” serta foto-foto peristiwa lubang buaya.
"Disini Mbok Milah, ikut serta main film itu. Dia salah satu pembantu yang ada di rumah Pak Yani saat awal pasukan Tjakrabirawa masuk kerumah," ucap pemandu museum, Apror mengawali cerita sambil menunjuk sebuah foto.
Setelah melihat ratusan foto yang ditempel di dinding, pengunjung akan diarahkan untuk menuju kesebuah lorong yang ujungnya akan mengarah kesebuah pintu. Dipintu itulah, Jenderal Ahmad Yani diberondong 7 buah timah panas oleh pasukan Cakrabirawa menggunakan senapan semi otomatis Thompon Cakrabirawa buatan Amerika Serikat.
Bekas tembakan tersebut juga masih terlihat di kaca yang ada di pintu tersebut.
"Disini Jenderal Ahmad Yani diberondong tembakan. Bahkan dari 7 peluru, 5 peluru diantaranya tembus ke badan Jenderal karena jarang penebak hanya 1,5 meter," lanjut Apror menceritakan detail peristiwa.
Tak jauh dari pintu, tepatnya dibagian dalam rumah terdapat sebuah marmer yang bertuliskan ' Di sinilah gugurnya pahlawan revolusi Djenderal TNI A Yani pada tanggal 1 Oktober 1965, djam 04.35, Djakarta, 1 Djanuari 1970". Ditempat itulah, Jenderal Ahmad Yani tersungkur tertungkup usai ditembaki.
Tak jauh dari tempat tersebut, tepatnya diruang yang dijadikan ruang makan keluarga, disitu tengah asik berbincang-bincang anak-anak dari Jenderal Ahmad Yani yakni Putri Pertama, Indriah Ami Yani, putri ke-4 Elina Lilik Yani, putri ke-5 Widna Ami Yani, putri ke-6, Remi Tha Yani, putra ke-7, Untung Murfeni Yani dan paling bungsu Irawan Sura Eddy Yani.
Sedangkan putri kedua Jenderal Ahmad Yani yakni Herliyah Ami Yani diketahui telah meninggal dunia sedangkan putri ketiga, Ameliah A Yani sedang bertugas sebagai Duta Besar di Bosnia.
Tribunnews berkesempatan duduk dan berbincang bersama anak-anak Jenderal Ahmad Yani di meja makan berukuran 2x1 meter tersebut.
Pantauan Tribunnews, suasana perbincangam mereka terbilang sangat cair dan hangat. Sesekali mereka bercerita tentang keluarga. Selain itu, mereka cuka memperhatikan beberapa pajangan yang berada didalam ruanģ meseum tersebut.
"Kayanya patung bapak yang itu tidak berwarna coklat seperti sekarang,"
"Iya ya, sepertinya dulu berwarna agak keemasan. Kenapa sekarang jadi coklat ya,"
Ditengah canda dan perbincangan, sesekali mereka menyantap panganan rebusan singkong dan pisang rebus yang tersedia diatas meja.
"Ayoo silakan mas dimakan," ucap Indriah Ami Yani sembari menyodori panganan singkong rebus.
Saat mendengar tawaran tersebut, awak Tribunnews teringat kata pemandu museum, Apror yang mengatakan bahwa Jenderal Ahmad Yani semasa hidupnya lebih suka memakan panganan rebusan seperti singkong.
Bahkan, jatah berasa yang diterima Jenderal Ahmad Yani selalu dibagikan kepada warga sekitar rumah yang membutuhkan.
"Bapak (Jenderal Ahmad Yani) lebih suka berkebun makannnya beliau lebih suka pangan rebusan. Ya, sampai sekarang putra putrinya juga lebih suka makan rebus-rebusan," ujar Apror.
Kembali kecerita penembakan dan penculikan Jenderal Ahmad Yani, Irawan Sura Eddy Yani atau biasa dikenal Edi Yani menceritakan dengan detail bagaimana peristiwa sang ayah ditembak oleh pasukan Tjakrabirawa.
Pasalnya, Eddy lah yang membangunkan sang Ayah bahwa ada tamu dari Tjakrabirawa yang akan menjemput menuju istana Presiden.
"Ini yang membuka pintu awalnya mbok Milah (Pembantu Rumah Jend. A. Yani). Awalnya pintu tertutup lalu mereka (pasukan Tjakrabirawa) ketok pintu, lalu dibukakan, mbok Milah bertanya 'ada apa?', 'Tolong bangunkan pak Yani' kata pasukan Tjakrabirawa," tutur Eddy.
"Kebetulan saya terbangun dan tepat berada di belakang Mbok Milah. Lalu mbok Milah menyuruh saya 'Den Eddy, Tolong bangunkan bapak. Lalu saya mendekat ke pasukan Tjakrabirawa. 'Tolong dibangunkan bapak, bapak disuruh menghadap Presiden,"
"Lalu saya bangunkan bapak, pada saat saya bangunkan bapak lagi tidur menyamping. 'Pak..pak.. ada Tjakrabirawa meminta bapak untuk segera ke Istana bertemu dengan Presiden,"
"Bapak sempat melontarkan kata-kata mengunakan bahasa Jawa 'Ono opo toh isuk-isuk Tjakrabirawa' gitu,"
"Bapak lalu keluar ke depan pintu, saya nunggu di lorong sini (pintu masuk samping) sama mbok Milah disamping mesin jahit. Lalu bapak keluar dialog disini (didepan pintu), yang mengadapi bapak sekitar 5 orang Tjakrabirawa karena yang lain (menyisir rumah). Sempat berdialog 'mereka (pasukan Tjakrabirawa) baru tau kali ya karena masing-masing hanya dikasih foto Ahmad Yani, karena mereka tidak banyak tau bapak,"
''Bapak dipanggil Presiden segera', bapak hanya bilang 'nanti saya akan menghadap Pak Presiden jam 08.00', 'tidak bisa pak, sekarang juga,"
"Karena kasarnya itu, 'kamu itu prajurit tau apa?', saat itu juga dipukul sama bapak. 'Saya mau mandi dulu, kata Bapak. Trus bapak tutup pintu. Habis tutup pintu, jalan berapa langkah yang bagian belakang yang dipukul itu langung menembak bapak," cerita pria berkaca mata tersebut.
Eddy juga cempat mengungkapkan bahwa dirinya sempat tidak mau bercerita kepada banyak orang soal peristiwa berdarah tersebut.
Sebagai informasi, Jenderal Ahmad Yani lahir pada tanggal 19 Juni 1922 di Jenar, Purworejo, Jawa Tengah, putra dari Bapak Sarjo dan Ibu Murtini.
Beliau mengenyam pendidikan HIS di Purworejo, kelas 2 pindah ke Magelang, Bogor dan tamat tahun 1935. Berlanjut ke MULO bagian B tamat tahun 1938 lalu AMS bagian B di Jakarta dengan prestasi A.
Jenderal Ahmad Yani masuk militer Belanda (Corps Opleiding Reserve) di Dinas Topografi dan menempuh pendidikan di Malang. Pada zaman Jepang 1943, beliau menempuh Heiho di Magelang sebagai Shodanco Tentara Sukarela Peta di Bogor.
Kariernya meliputi Shodanco, Chudancho, Daidancho 3 Resimen Magelang, Divisi V Purwokerto pimpinan Kolonel Sudirman.
Setelah Indonesia merdeka, karier Jenderal Ahmad Yani kian cemerlang sebagai Danyon IV Magelang, Danbrig Dip. Be 9/III Div III, dan Werkreise II/Brig 9/Kedu, Danbrig Kuda Putih 9/III Magelang, Danbrig "Q" Pragolo, Danbrig "N" Yudonegoro, dan RI XII Purwokerto.
Setelah itu ia sempat melanjutkan pendidikan di USA dan Inggris sebelum mejabat sebagai Asisten II, Deputi I, Deputi II Kasad, Men/Pangad.