TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA- Tertulis persis diatas sumur Lubang Buaya, tempat ke tujuh Jendral Pahlawan Revolusi dimasukkan saat peristiwa berdarah, atau dikenal peristiwa gerakan 30 September 1965.
"Tjita2 Perjuangan Kami Untuk Menegakkan Kemurnijan Patnja-Sila Tidak Mungkin Dipatahkan Hanja Dengan Mengubur Kami di Sumur ini."
Sesekali waktu, bila ada kesempatan, putra-putri termasuk para cucu-cucu ketujuh Jendral Pahlawan Revolusi, datang untuk mendoakkan di tempat yang kini diabadikan sebagai tampat bersejarah, Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur. Meski kini, jasad ketujuh Pahlawan Revolusi sudah dimakamkan secara layak, di Taman Makam Nasional, Kalibata.
Salah satunya adalah putri sulung Mayjen DI Panjaitan, Catherine Panjaitan (63). Sesekali wanita yang sudah uzur ini menghela nafasnya, kemudian menebar senyum saat mencoba mengenang peristiwa yang ia lihat langsung di rumahnya saat peristiwa itu, di rumahnya di Jalan Sultan Hasanuddin, Blok M, Jakarta Selatan, tahun 1965 lalu. Ketika itu, Chaterine baru berusia 17 tahun.
Dahinya terkerut, saat harus mencoba merasakan perasaan di hatinya setiap kali datang, dan melihat sumur Lubang Buaya yang kini diabadikan, dikenang sebagai peristiwa sejarah kelam bagi bangsa ini.
"Tak lagi harus melihat ke belakang terus. Hidup damai, bagi bangsa. Dua puluh tahun saya belajar untuk ikhlas. Melupakan masa lalu yang kelam," ujarnya saat ditemui khusus tribunnews, saat menghadiri peringatan Hari Pancasila Sakti, pada hari Jumat, 1 Oktober tahun 2010 lalu.
Wanita penganut Kristen Pantekosta ini kemudian mengakui jujur. Awalnya, sejak pertama kali peristiwa berdarah yang merenggut nyawa ayah tercinta, hingga 20 tahun ke depan, seakan sulit, untuk bisa memaafkan.
Waktu terus berjalan, Chaterine merasa sudah dapat menerima peristiwa yang menjadi bagian dari hidupnya. Ia mengaku ikhlas, menerima kenyataan dan menghilangkan rasa dendam atas peristiwa itu.
Hal ini ia lalukan dengan berusaha menjadi teman, sahabat kepada putra-putri tokoh PKI. Bahkan, dalam satu kesempatan, beberapa kali Chaterine bertemu dengan putra tokoh PKI, DN Aidit, Ilham Aidit.
Dalam kesaksian Ilham yang ia dengar, Chaterine mengaku tertegun hatinya. Ternyata, katanya lagi, keluarga pelaku maupun keluarga korban peristiwa tahun 65, sama-sama menderita, dengan konteks berbeda.
"Dalam hati saya, ternyata bukan hanya kami saja yang menderita. Mereka, juga menderita, dalam konteks lain. Menderita karena mereka mendapat stigma anak PKI," katanya.
"Saya berusaha bersahabat, berteman dengan Ilham (putra tokoh PKI, DN Aidit). Saya welcome, membuka diri untuk berdamai.Tidak memandang Ilham dengan sitgma lalu. Mari kita menjadi orang baru Tuhan tidak mengajarkan dendam. Agam lain juga mengajarkan seperti itu, jangan jadi pendendam" Chaterine meyakinkan.
"Buat apa memelihara dendam, kalau itu hanya terus menurun ke cucu-cucu. Jadi apa kita ini? Saya hanya ingin, apa yang menjadi pengorbanan bagi bangsa ini menjadi sia-sia.Kami ingin bangsa itu bersatu," ungkapnya lagi. (Artikel ini pernah dimuat pada 1 Oktober 2010)