News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Tribunners

Tribuners adalah platform jurnalisme warga. Untuk berkontribusi, anda bisa mengirimkan karya dalam bentuk berita, opini, esai, maupun kolom ke email: redaksi@tribunnews.com.

Konten menjadi tanggungjawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi tribunnews.com.

Korupsi KTP Elektronik

Ini 6 Kejanggalan Putusan Praperadilan Setya Novanto Versi ICW

Penulis: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua Umum Golkar Setya Novanto.

Oleh: Lalola Easter
Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch (ICW)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA  - Sesuai perkiraan, praperadilan penetapan tersangka Setya Novanto dikabulkan oleh Hakim Tunggal Cepi Iskandar.

Perkiraan ini bukan tanpa dasar, karena sepanjang proses sidang praperadilan penetapan tersangka Setya Novanto, ICW mencatat ada 6 (enam) kejanggalan proses yang dilakukan oleh hakim.

Kejanggalan-kejanggalan tersebut adalah:

1. Hakim menolak memutar rekaman bukti keterlibatan SN dalam korupsi KTP-El;
2. Hakim menunda mendengar keterangan ahli dari KPK;
3. Hakim menolak eksepsi KPK;
4. Hakim mengabaikan permohonan Intervensi dengan alasan gugatan tersebut belum terdaftar di dalam sistem informasi pencatatan perkara;
5. Hakim bertanya kepada Ahli KPK tentang sifat adhoc lembaga KPK yang tidak ada kaitannya dengan pokok perkara praperadilan; dan
6. Laporan kinerja KPK yang berasal dari Pansus dijadikan bukti Praperadilan

Keenam kejanggalan tersebut adalah penanda awal akan adanya kemungkinan permohonan praperadilan SN akan dikabulkan oleh Hakim Cepi Iskandar, sebelum akhirnya putusan itu dibacakan di hadapan sidang pada Jumat, 29 September 2017.

Salah satu dalil Hakim Cepi Iskandar yang paling kontroversial dalam putusan praperadilan ini adalah, bahwa alat bukti untuk tersangka sebelumnya tidak bisa dipakai lagi untuk menetapkan tersangka lain.

Baca: Ini Sepak Terjang Hakim Cepi yang Batalkan Status Tersangka Setya Novanto

Dengan dalil tersebut, artinya Hakim Cepi Iskandar mendelegitimasi Putusan Majelis Hakim yang memutus perkara KTP-El dengan terdakwa Irman dan Sugiharto, yang notabenenya sudah berkekuatan hukum tetap.

Padahal, putusan dikeluarkan berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti yang cukup dan keyakinan hakim, dan skema tersebut merupakan hal yang biasa dalam proses beracara di persidangan.

Selain kejanggalan-kejanggalan di atas, dikabulkannya permohonan praperadilan ini juga tidak bisa dilepaskan dari konteks yang lebih luas, termasuk dengan proses yang berjalan pada Pansus Angket KPK di DPR RI.

Putusan praperadilan ini dikhawatirkan akan menjadi dasar bagi Pansus Angket untuk mengeluarkan rekomendasi yang bukan saja kontra-produktif dengan upaya pemberantasan korupsi, tapi juga melemahkan KPK. Terlepas dari legalitas perpanjangan masa kerja Pansus Angket KPK, bukan tidak mungkin rekomendasi yang akan dikeluarkan nanti dilakukan juga berdasarkan hasil putusan praperadilan ini.

Mengutip pernyataan Ahmad Doli Kurnia Ketua Gerakan Muda Partai Golkar (GMPG), ada dugaan bahwa putusan SN sudah dikondisikan sejak sebelum putusan dibacakan hari ini.

Hal ini dapat dilihat dari pembahasan RUU Jabatan Hakim yang sedang dibahas di Komisi III DPR RI, dengan Mahkamah Agung sebagai salah satu pihak yang paling berkepentingan dengan hal tersebut, juga dari dugaan pertemuan SN dengan Ketua Mahkamah Agung, Hatta Ali.

Besar dugaan bahwa putusan praperadilan ini tidak dikeluarkan berdasarkan pertimbangan yang tepat dan sarat akan dugaan adanya intervensi pihak lain yang membuat hakim tidak imparsial dan tidak independen dalam memutus. Untuk itu, ICW mendesak agar:

1. Komisi Yudisial menindaklanjuti laporan-laporan yang sudah masuk terkait dengan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh Hakim Tunggal Cepi Iskandar dalam proses sidang praperadilan penetapan tersangka Setya Novanto.

2. Mahkamah Agung mengambil langkah konkrit dengan melakukan eksaminasi putusan praperadilan yang dikeluarkan oleh Hakim Tunggal Cepi Iskandar, dan mengambil langkah tegas manakala ditemukan dugaan penyelewengan hukum yang dilakukan oleh yang bersangkutan.

3. KPK harus kembali menetapkan SN sebagai tersangka dengan menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) baru. Selain itu, manakala SN sudah kembali ditetapkan sebagai tersangka, KPK harus bergerak lebih cepat dengan melakukan penahanan dan pelimpahan perkara ke persidangan, manakala sudah ada bukti-bukti yang cukup.

Jakarta, 29 September 2017

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini