TRIBUNNNWEWS.COM, JAKARTA - Kawasan hutan Indonesia terus menyusut karena tekanan terus menerus dari perambahan, perluasan lahan pertanian, pertambangan dan pendirian permukiman.
Sampai saat ini, sektor kehutanan Indonesia terlalu disalahkan karena perannya dalam deforestasi dan degradasi hutan melalui pembalakan liar.
"Namun akhir-akhir ini, sektor ini sebenarnya mengalami transformasi yang luar biasa dimana produksi yang legal dan berkelanjutan dengan cepat menjadi standar yang umum," kata FSC Indonesia Representative Hartono Prabowo di Jakarta belum lama ini.
Hal ini terutama disebabkan oleh peraturan-‐peraturan pemerintah terbaru terkait pengelolaan hutan lestari dan sistem pengawasan lacak balak (SVLK, atau FLEGT-‐VPA untuk ekspor), tetapi juga karena program dukungan yang efektif dimana The Borneo Initiative, sebuah kerjasama dengan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), adalah salah satunya.
Indonesia memiliki sekitar 120 juta ha lahan hutan negara, dimana 31 juta ha dialokasikan untuk produksi kayu, yang dalam hal ini perusahaan-‐perusahaan kehutanan (HPH) diberikan perizinan (konsesi), serta di sisi lain berupa skema hutan rakyat (misalnya perhutanan sosial atau hutan kemasyarakatan, hutan desa, atau hutan adat).
Baca: Persedian Pangan Kurang, Warga Natarmage Makan Ubi Hutan
Mengenai konsesi hutan, di masa lalu, Indonesia pernah memiliki 580 pemegang konsesi hutan yang mengelola 42,97 juta ha (tahun 1992), namun jumlah ini kemudian hari turun menjadi 265 pemegang konsesi hutan yang mengelola sekitar 20 juta ha (Desember 2016, dan di antaranya hanya 199 pemegang HPH yang beroperasi secara aktif di lapangan).
"Pengurangan kegiatan konsesi ini disebabkan oleh beberapa alasan diantaranya konflik sosial atau tenurial, peraturan pemerintah yang terlalu kaku, dan rendahnya harga kayu di pasar domestik yang dikarenakan keterbatasan ekspor kayu bulat dan kebijakan pembatasan dimensi produk kayu yang bisa diekspor)," katanya.
Pemerintah Indonesia memperkenalkan sistem peraturan pengelolaan hutannya yang baru, SVLK, pada tahun 2009.
Sejak tahun 2007, Uni Eropa mendukung pengembangan SVLK sebagai bagian dari inisiatif Penegakan Hukum, Tata Kelola, Legalitas dan Perdagangan hasil Hutan (FLEGT) yang puncaknya adalah pengesahan resmi pada tahun 2016 dalam bentuk Voluntary Partnership Agreement (VPA) dimana produk kayu bersertifikasi SVLK juga menerima lisensi FLEGT yang memungkinkan kemudahan berupa prosedur impor 'jalur hijau' ke negara-‐negara anggota UE.
Sementara lisensi SVLK dan FLEGT dipersiapkan sebagai standar baru untuk sumber yang legal dan berkelanjutan, program non-‐pemerintah lainnya juga aktif di sektor kehutanan, menawarkan bantuan teknis langsung kepada konsesi hutan.
Ini dilakukan untuk mempersiapkan mereka memenuhi persyaratan pengelolaan hutan yang lebih ketat tidak hanya dari Pemerintah Indonesia, tapi juga dari pasar internasional. Salah satu program yang didukung oleh APHI tersebut adalah The Borneo Initiative.
"Dari 199 konsesi hutan yang tersisa dengan status aktif, The Borneo Initiative didekati untuk bantuan oleh 50 perusahaan atau 25 persen," kata Board The Borneo Initiative Bun Purnama,
Dari jumlah tersebut, 28 perusahaan telah berhasil memperoleh sertifikasi FSC (2,6 juta ha), sementara 4 perusahaan lainnya segera menyusul dan diperkirakan akan meningkat sehingga total menjadi 32 perusahaan pada akhir tahun 2017, dengan total luasan mencapai hampir 3,1 juta ha.
"Ini setara dengan 16% area konsesi hutan aktif di Indonesia. Konsesi hutan lainnya juga mendekati The Borneo Initiative untuk mendapatkan bantuan, dan mengingat ketertarikan mereka," katanya.
The Borneo Initiative yakin bahwa program ini akan dapat memperluas cakupannya hingga mencapai 5 juta hektar atau 25 persen dari seluruh konsesi hutan di Indonesia akan mengikuti praktik-praktek pengelolaan hutan yang lestari, dan sektor kehutanan.