Laporan Wartawan Tribunnews.com, Vincentius Jyestha
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - ECPAT Indonesia mendesak pemerintah agar serius dalam menangani kasus Prostitusi Anak dan Pornografi.
Koordinator Riset ECPAT Indonesia, Deden Ramadani mengatakan pemerintah perlu serius menangani masalah itu dari proses pelaporan kasus, proses penyidikan, hingga proses peradilan secara keseluruhan.
"Berdasarkan catatan pendampingan hukum yang telah dilakukan oleh ECPAT Indonesia, pemerintah belum mengakomidir kepentingan korban untuk mendapat keadilan bagi kasusnya," ujar Deden melalui pesan singkat, Rabu (11/10/2017).
Baca: Aksi Bejat Sang Sopir Terungkap Setelah Anak Tetangganya Mengeluh Sakit Saat Buang Air Kecil
Beberapa catatan penting yang menjadi perhatian adalah masih seringnya ditemukan proses peradilan yang penuh stigma pada anak, proses hukum yang lamban sehingga menghabiskan waktu, energi serta materiil yang banyak bagi keluarga korban.
Kondisi ini seringkali mencegah keluarga dan pihak-pihak pendamping kesulitan dalam membawa kasus-kasus kekerasan seksual anak ke proses hukum.
Deden juga menyampaikan jika belum ada pemenuhan hak pemulihan yang komprehensif baik secara sistem maupun fasilitas fisik.
Baca: Pelaku Pemerkosaan Anak Hingga Pingsan Ditangkap Polisi, Ternyata Aksinya Bukan Kali Pertama
"Proses eksekusi pemulihan dan re-integrasi sosial pun masih belum terjadi secara menyeluruh bagi korban anak," imbuhnya.
ECPAT Indonesia sendiri mengharapkan pemerintah Indonesia segera menjalankan aksi-aksi pencegahan yang tercantum di dalam Protokol Opsional tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi Anak yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012.
Pada dasarnya, Pemerintah Indonesia telah menandatangani Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography (Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak) pada tanggal 24 September 2001.
Baca: Upaya Kuli Bangunan Kembalikan Keperkasaan Dari Minum Jamu Hingga Main PSK Berujung Bui
Namun, menurut Deden, Indonesia sampai hari ini belum pernah menyerahkan laporan dalam waktu dua tahun setelah berlakunya Protokol kepada Komite Hak-hak Anak, terkait tindakan-tindakan yang diambil untuk menjalankan implementasi sesuai ketentuan dalam Protokol.
Selain itu, ECPAT Indonesia mendorong pemerintah segera menggunakan pasal berlapis dalam penuntutan.
Pemerintah juga perlu memastikan bahwa pasal yang digunakan untuk menjerat para pelaku predator pornografi anak, mucikari hingga pembeli seks anak sudah tepat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Baca: Jauh Dari Istri, Kuli Bangunan Lampiaskan Nafsu Birahinya Kepada Bocah 9 Tahun
Indonesia sudah memiliki Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kemudian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
"Penggunaan pasal berlapis penting diterapkan bagi para pelaku karena apa yang dilakukan para pelaku ini berdampak sangat buruk bagi korban baik di masa sekarang maupun di masa mendatang," katanya.