TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyampaikan pendapatnya terkait usia tiga tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Fadli mengatakan, pemerintah akan menyampaikan cerita tentang keberhasilan dalam bentuk angka-angka.
Sementara pihak-pihak lain, bisa memberi catatan kritis termasuk menyampaikan keadaan yang sesungguhnya.
"Ada sejumlah hal yang perlu diapresiasi dari pemerintah dalam tiga tahun terakhir. Misalnya, keseriusan pemerintah melakukan debirokratisasi perizinan dalam usaha. Peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business, EoDB) kita saat ini sudah naik ke posisi 40 dari sebelumnya 106. Itu capaian penting yang baik. Antara agenda dengan capaian bisa disebut berhasil," kata Fadli lewat pesan singkat kepada wartawan di Jakarta, Jumat (20/10/2017).
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini menyayangkan, masih banyak yang tak tercapai bahkan terjadi kemunduran.
"Secara ringkas bisa saya sampaikan kinerja pemerintah dalam banyak bidang sebenarnya sangat mengecewakan," kata Fadli.
Pertama, dalam bidang demokrasi. Dalam catatan saya, di masa Presiden Joko Widodo ini Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) terus-menerus turun. Pada tahun 2014, IDI masih berada di angka 73,04.
Menurutnya, angka itu kemudian terus turun menjadi 72,82 (2015), dan kemudian turun lagi jadi 70,09 (2016).
BPS mengatakan, penurunan IDI pada 2016 disumbang oleh turunnya tiga aspek demokrasi, yaitu kebebasan sipil, hak-hak politik, lembaga-lembaga demokrasi.
"Kita bisa melihat sendiri fakta turunnya kebebasan sipil dan hak-hak demokrasi itu. Jika ada yang memprotes kenapa ulama dikriminalisasi, demonstrasi dipersulit, media sosial dikontrol, aktivis dituduh makar, semuanya adalah tanda jika pemerintah kita cenderung kembali menjadi represif dan otoriter," katanya.
Sementara dari sisi lembaga demokrasi, penerbitan Perppu Ormas bisa mengancam lembaga demokrasi.
"Itu sebabnya Partai Gerindra menolak Perppu ini yang bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, Perppu itu jangan hanya dilihat vis a vis ormas yang dianggap anti Pancasila, namun harus dilihat bahwa Perppu tersebut memberi pemerintah kewenangan sepihak untuk membubarkan organisasi-organisasi yang tak sehaluan dengannya tanpa melalui proses hukum terlebih dahulu," katanya.
Fadli mengatakan, demokrasi itu dilindungi konstitusi dan hukum, serta bekerja melalui instrumen hukum, jadi tak bisa proses hukum digergaji hanya demi kepentingan rezim yang berkuasa.
"Kedua, dalam bidang politik. Dalam tiga tahun terakhir kita juga juga kembali menyaksikan adanya praktik pecah-belah terhadap partai politik, hal yang dulu kita ingat hanya terjadi di masa Orde Baru. Kubu yang tidak pro terhadap pemerintah tidak diakui keabsahannya meskipun mereka, misalnya, menang di pengadilan. Ini bentuk kemunduran politik," katanya.
Selanjutnya, dalam bidang hukum Fadli menilai bahwa pemerintah ini sering sekali membolak-balikan opini hukum demi untuk membela kepentingannya sendiri.
"Coba saja lihat kasus reklamasi Teluk Jakarta. Tahun lalu, demi melegitimasi Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang pro terhadap reklamasi, pemerintah menyatakan bahwa kewenangan reklamasi Pantai Utara Jakarta telah dilimpahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Jadi, orang tak boleh memprotes kewenangan Gubernur Basuki terkait reklamasi," katanya.
Keempat, dalam bidang ekonomi, pembangunan infrastruktur yang diklaim oleh pemerintah bisa jadi trigger untuk menggerakkan ekonomi, atau menyerap tenaga kerja, terbukti tidak terjadi.
"Dari data yang saya pegang, sektor industri logam dasar justru tumbuh negatif -3,06 persen pada kuartal I 2017. Industri logam tumbuh di bawah 1 persen adalah sebuah keanehan di tengah maraknya proyek infrastruktur," katanya.
Dirinya jadi bertanya-tanya, lalu dari mana besi dan baja yang digunakan untuk membangun jembatan, jalan tol, dan rel kereta api.
"Pembangunan infrastruktur ini memang aneh, karena sejak awal dilakukan tanpa konsep dan strategi, sehingga hasilnya adalah anomali. Bagaimana bisa konsumsi semen secara nasional turun, padahal pemerintah sedang menggalakkan proyek infrastruktur? Dalam periode Januari hingga Juni 2017, konsumsi semen kita turun 1,3 persen, dari sebelumnya 29,4 juta ton, turun menjadi 28,9 juta ton. Padahal anggaran infrastruktur dalam RAPBN 2018 semakin dinaikkan," kata Fadli.
Begitu juga dengan klaim penciptaan lapangan kerja. Penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi justru anjlok dari 8,21 juta orang (2015) menjadi 7,98 juta orang (2016).
"Artinya, terjadi pengurangan penyerapan tenaga kerja sebesar 230 ribu orang di sektor konstruksi. Jadi, tenaga kerja mana yang sebenarnya diserap oleh pembangunan infrastruktur?" katanya.
Catatan lain, meskipun pemerintah mengklaim banyak melakukan pembangunan infrastruktur, namun peringkat logistik Indonesia selama pemerintahan Jokowi justru terus mengalami penurunan.
Fadli mengungkap data World Bank, pada 2013 Indonesia menempati peringkat 53, namun pada 2016 Indonesia hanya menempati peringkat 63.
"Ada banyak hal yang telah dikorbankan untuk membangun infrastruktur. Salah satunya adalah anggaran subsidi, yang selama Presiden Joko Widodo berkuasa anggaran subsidi kita telah dipotong hingga lebih dari 60 persen," katanya.
Dirinya mengaku ingin mengingatkan kembali pemerintah bahwa salah satu agenda yang mereka cantumkan dalam Nawacita adalah agenda untuk meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
"Dicabutnya berbagai subsidi untuk rakyat sejak awal pemerintahan ini, terutama subsidi energi, telah memukul daya beli masyarakat. Rendahnya angka inflasi dalam tiga tahun terakhir bukanlah indikator yang menggembirakan, karena di baliknya ada faktor penurunan konsumsi dan daya beli masyarakat," katanya.
Untuk itu Fadli menjelaskan, secara keseluruhan saya menilai jika raport pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla ini masih merah. Istilahnya, kelihatan banyak kerja, tapi miskin kinerja.
"Kerja pun hasilnya tak dirasakan rakyat karena semakin banyak masyarakat merasa kehidupan makin sulit, cari kerja makin susah," kata Fadli.